Jumat, 28 Desember 2012

AKOMODASI PARPOL UNTUK PEMBANGUNAN

Accommodation dimaksudkan sebagai istilah yang berarti penyesuaian antara dua buah objek yang antara satu dengan lainnya saling berkepentingan. Dalam hal ini, penyesuaian itu dihubungkan dengan partai politik yang secara internal memiliki kualitas-kualitas tersendiri. Penyesuaian dimaksudkan untuk menyatukan konsepsi dan program dalam kaitannya dengan proyek-proyek demokratisasi, pembangunan dan partisipasi politik konstituen masing-masing partai. Pola akomodasi ini tidak melulu dalam bentuk koalisi atuapun membagi-bagikan kekuasaan kepada kelompok politik lainnya. Melalui accommodation ini, diharapkan terjalin empowering partai politik dalam setiap tindakan, kebijakan, dan keputusan yang terkait langsung dengan kepentingan publik dan pembangunan tanpa menghilangkan identitas masing-masing partai.
Seperti dikemukakan oleh Carl Friedrich dalam pidatonya di depan Internasional Political Science Assocation tahun 1970 ia mengkritik para ilmuwan politik yang telah mengabaikan sifat negatif yang dimiliki sistem demokrasi, seperti pelepasan tanggungjawab, penyalahgunaan jabatan, korupsi, nondecesion, penindasan, dan sebagainya. Para ilmuwan juga lupa melihat bentuk-bentuk lingkage (hubungan) yang tidak positif di tubuh partai politik sebagai akibat terlalu memberikan perhatian yang berlebihan terhadap fungsi agregasi kepentingan partai dan kealpaan dalam memperhatikan tingkah laku aktor partai dalam keberhasilan mereka memperkuat hubungan yang ada ataupun dalam membentuk hubungan-hubungan yang baru. Kelemahan dua aspek ini, sifat negatif demokrasi dan aktor politik yang tertutup sering memberikan pengaruh yang dapat membentuk sebuah kerangka operasional yang menjadikan tindakan-tindakan aktor partai cenderung oligarkis.
Kecenderungan oligarkis yang tidak dapat dikontrol dan dikelola menjadi tindakan politik yang tidak terukur, di samping ketertutupannya dan pelepasan tanggungjawab, bagaimanapun partai politik yang diharapkan menjadi penghubung antara kepentingan masyarakat, elit, dan kekuasaan, berjalan dengan pincang. Sering yang berkembang kemudian hubungan vertikal antara elit dengan kekuasaan, sedangkan rakyat tereleminir dengan segala harapan dan keinginannya. Bahkan kecenderungan untuk melakukan hubungan horizontal dengan sesama partai politik di satu wilayah pemilihan berjalan dengan tidak normal dan selalu mengandung potensi konflik. Ketidak normalan membangun akomodasi konflik antara konstituen dengan partai politik lainnya inilah sebagai indikasi tidak adanya kebijakan partai untuk memberdayakan partisipasi politik rakyat menjadi terhormat dan diperhartikan.
Menurut A. H. Sonjee ada tiga macam hubungan yang selalu terpelihara dalam partai politik, yaitu hubungan interes lingkage (hubungan kepentingan), normative lingkage (hubungan normatif), dan operational lingkage (hubungan operasional). Ketiga bentuk hubungan in bekerja sesuai dengan keterkaitan dan kepentingan yang melingkupinya. Kepentingan-kepentingan itu berupa perolehan kursi, kekuasaan, pengaruh, jabatan, dan suara, sehingga melalui kepentingan bersama antara rakyat dengan elit partai kedua belah pihak kemudian saling melakukan tawar menawar untuk saling memberikan, rakyat memberikan suaranya dan elit politik atau calon legislatif memberikan tanggapan mereka terhadap aspirasi rakyat apakah melalui undang-undang maupun akomodasi lainnya.
Interes lingkage (hubungan kepentingan) di dasari oleh bertemunya dua kepentingan – masyarakat dan elit partai – yang independen. Masyarakat dengan struktur sosialnya berupaya mengartikulasikan kepentingan utamanya dalam sistem politik modern, sementara itu partai dengan harapan memperoleh dukungan menetapkan rencana-rencana politik atau program-program yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan sekaligus elit partai. Dengan adanya common program antara masyarakat dengan partai terjadi saling keterpengaruhan di atas kepentingan untuk memperoleh keuntungan.
Bahkan dalam bentuk yang lebih opensif, partai juga menjadi sarana penyedia informasi, mempersatukan orang yang saling berkepentingan, kepercayaan, dan aspirasi politik yang beraneka ragam. Kritik yang dikemukakan Morton Grodzins tentang “dinamika internal” berakibat kepada kecenderungan yang tinggi terhadap perpecahan daripada mempersatukan tuntutan. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan konflik itu tidak bertahan cukup lama, karena ketika menjelang pemilihan, partai hampir-hampir tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang significan dengan kepentingan rakyat. Menjelang pemilihan dan bahkan tidak jarang sampai paska pemilihan agregasi kepentingan masyarakat hampir-hampir tidak lagi terkelola dengan aspiratif dan bertanggungjawab.
Normative lingkage (hubungan normatif) yang hampir-hampir tidak berlangsung dengan rasional dan bertanggungjawab di tubuh partai dan konstituennya dipengaruhi oleh kepentingan yang lebih kepada mempertahankan citra partai dan kepentingannya. Dari perspektif normatif, sistem partai politik memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada elit penguasa, media massa, dan elit-elit partai untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan yang terkait dengan kemakmuran dan pembangunan masyarakat.
Diakui bahwa hubungan normatif ini tidak selalu berjalan dengan normal, baik sebagai wujud dari rendahnya kontribusi partai terhadap hubungan normatif itu sendiri maupun dipengaruhi oleh adagium kekuasaan dan penetapan pengikut adalah sesuatu yang lebih penting. Beberapa contoh bisa dikorelasikan dengan konsepsi ini, seperti; tidak adanya dukungan konstituen Golkar secara menyeluruh terhadap persoalan hukum Akbar Tanjung, persoalan itu lebih dikaitkan dengan perspektif politis di satu sisi, secara horizontal, partai-partai lain sama sekali tidak berani untuk menegakkan norma hukum, setidak-tidaknya dengan mengeluarkan resolusi ataupun ketentuan-ketentuan hukum agar tindakan Akbar Tanjung itu dapat dikaitkan dengan kepentingan untuk memelihara norma hukum dan norma moral masyarakat di sisi lain. Atau kasus yang paling marak yaitu tuduhan korupsi yang mengejala di tubuh legislatif, dengan kumpulan wakil partai di legislatif, partai cenderung tertutup untuk mengkaitkannya dengan hubungan-hubungan normatif yang padahal dengan itu diharapkan adanya ketegasan yang bersifat mengikat, antara wakil partai di legislatif dengan kepentingan norma hukum dan norma moral masyarakat sebagai pemberi mandat. Banyak kasus yang memperlihatkan bagaimana hubungan normatif itu tidak terkelola dalam kerangka pembangunan partai dan elitnya yang demokratis dan bahkan cenderung, kepentingan partai lebih menguat dan “menorma” dari pada berbagai keharusan-keharusan normatif yang dijalankannya terhadap kepentingan yang lebih luas dan fundamental.
Sementara itu, fungtional lingkage (hubungan fungsional) adalah aktifitas yang dilakukan untuk membentuk dan memperkuat struktur dukungan bagi organisasi partainya. Mereka ini adalah perantara-perantara politik yang secara bersamaan terikat dengan kepentingan untuk memperoleh keuntungan potensial bagi dirinya. Menariknya, hubungan fungsional ini sangat terorganisir sedemikian rupa ketika pelaksanaan pemilihan akan berlangsung, kecenderungan konflik yang biasanya berlangsung paska atau sebelum pemilihan sangat kentara, maka ketika pemilihan ataupun kampanye sedang berlangsung maka konfik tersebut cenderung tidak ada. Persoalannya kemudian adalah bagaimana perantara-perantara politik ini bekerja setelah mereka tidak lagi memiliki tanggungjawab untuk memenangkan partai atau haruskah mereka bertanggungjawab untuk menjembatani tawaran-tawaran atau janji politik yang mereka ucapkan sewaktu pemilihan dengan wakil partai yang duduk di legislatif.
Dari ketiga bentuk hubungan kepartaian ini, hubungan fungsional lebih dekat dengan kajian tentang tanggungjawab untuk melakukan pengakomodasian terhadap pertentangan-pertentangan dalam maupun antar partai politik. Padahal dalam konflik partai yang tajam, persoalan horse-trading (jual beli anggota) atau pelarian anggota – pengurus dan anggota biasa – sering tidak dapat dielakkan.
Dari fungsi inilah kita bisa melacak sejauh mana akomodasi yang dilakukan oleh para penghubung ini mampu membangun citra dan atau setidak-tidaknya menjalin kerja sama antar partai sehingga mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat dan pembangunan di mana partai itu berdomisili.
Jika menyimak masalah akomodasi kepentingan antar partai politik, persoalan yang sampai sekarang tidak pernah terselesaikan apakah secara konseptual ataupun tekhnis pragmatis adalah ketiadaan kerja sama ataupun relasi-relasi pembangunan yang dirumuskan oleh masing-masing partai politik. Tingginya kecenderungan konflik kepentingan antar partai di satu sisi dan lemahnya kecenderungan budaya demokratis di sisi lain telah menjerumuskan partai politik ke dalam wilayah konflik yang seakan-akan tidak mungkin melakukan kerja sama dan bersama-sama merumuskan apa yang disebut di atas dengan normative lingkage (hubungan normatif).
Dengan adanya horizontal lingkage (hubungan sejajar) antara satu partai dengan partai lainnya dalam koridor penegakkan kepentingan masyarakat, pembangunan, demokratisasi, aksi massa, pengejewantahan aspirasi massa partai, maupun persoalan-persoalan perumusan kebijakan proyek-proyek bersama partai politik, minimal dalam usaha-usaha pemberdayaan ekonomi konstituen akan mampu menguatkan posisi tawar menawar (bargaining position) antara partai dengan wakilnya di legislatif, partai dengan pemerintah, maupun antara partai-legislatif-eksekutif, dan masyarakat.
Adapun model akomodasi yang dapat diterapkan dalam rangka membangun jaringan kerja sama dipetakan ke dalam empat bentuk akomodasi, yaitu akomodasi partai dengan partai, akomodasi individu antar partai,  akomodasi ekstra partai, dan akomodasi non partai. Akomodasi antar partai adalah akomodasi yang bersifat ke-partai-an, Akomodasi kepartaian adalah terjadinya inter-conection berupa perubahan peran dari extrem-dominan sebagai partai pemenang ke peran cervant-egalitarian sebagai partai yang membangun keterbukaan. Morris dan Jonnes dalam Dominance and Dissent: Their Inter-relations in the Indian Party Sistem: melihat keterbukaan yang dikembangkan oleh Partai Kongres dengan partai lainnya tidak semata-mata meniadakan penghalang saja melainkan juga supaya terdapat interaksi dan komunikasi yang positif di antara partai-partai tersebut, oleh karena itu, kekuasaan tidak perlu dibagikan kepada partai lainnya, karena yang terpenting adalah terlaksananya dialog dan pembicaraan yang dapat melaksanakan dua kepentingan dan program yang berbeda. 
Akomodasi antar individu antar partai dibandingkan dengan konflik yang terjadi pada akomodasi antar partai tidaklah sebegitu tajam dan riskan. Adanya jarak sebagai pengambil keputusan dengan mereka-mereka yang menjadi korban dari keputusan diorganisasi politik, intensitas konfilk di tingkat anggota lebih mudah cair. Adanya keterbukaan pada tingkat pengurus dan organisasi politik serta dikuatkan dengan jaringan akomodasi antar anggota lebih tepat untuk dijadikan sebagai masa pemulih keadaan paska pemilihan yang cenderung membawa friksi.
Akomodasi lintas partai - internal dan eksternal – tidak lantas menjamin terjadinya kolaborasi pragmatis dengan elit eksekutif. Kecenderungan-kecenderungan birokratis di tubuh pemerintahan dan badan-badannya bahkan tidak jarang dengan alasan ketakutan akibat intervensi dan agitasi partai, akomodasi non partai, apakah dengan kalangan eksekutif ataupun kalangan lembaga swadaya dan para marjinal sesuatu yang juga teramat penting. Sepenting keinginan partai untuk memperoleh kesempatan mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah.
Di luar dari ketiga bentuk akomodasi itu, akomodasi non partai walaupun tidak terlalu signifikan dengan kepentingan partai, tetapi kecenderungan untuk memperoleh dukungan dan pengaruh di luar electoral-contest tetap sesuatu yang menarik. Akomodasi antar partai politik dengan akomodasi ekstra politik sering menghasilkan konsensi-konsensi politik yang menguntungkan pihak-pihak terkait, berbeda dengan yang diperoleh oleh akomodasi individu antar partai, sering mereka hanya memperoleh kekecewaan, apakah karena ketidak berartian dukungan yang diberikan ataupun dikarenakan dukungan yang diberikan telah memperoleh hasilnya dalam perebutan kekuasaan dan pengaruh.
Dari keempat bentuk akomodasi di atas, adalah mungkin mencoba mengarahkan partai kepada satu model untuk merumuskan  langkah-langkah penyesuaian yang diharapkan bernilai positif dengan demokrasi. Walaupuan dikuatiri partai politik akan berani mengambil langkah-langkah accountabilty dan responsbility dari proses akomodasi yang ada, namun setidak-tidaknya ada upaya untuk menjelaskan kepada elit politik dan para aristokratnya tentang keperluan untuk lebih mengutamakan penyesuaian-penyesuaian konstruktif agar konflik dan pertikaian kecenderungan yang bersifat oligarkis dapat dikikis.
Logika elit politik untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan secara mutlak dari rakyat jika dibandingkan dengan kenyataan-kenyataan faktual yang dialami oleh elit dan organisasi politik saat ini, seperti dominasi sekelompok orang, ketidak percayaan, penipuan, dan ketiadaan kebijakan yang terkait dengan kepentingan masyarakat, menggambarkan sebuah fenomena political decay yang oleh masyarakat sangat tidak diharapkan. Oleh karena itu, akomodasi dalam  berbagai bentuknya apabila dikelola dengan political-empaty akan bisa memperbaiki harapan dan ataupun dukungan masyarakat terhadap partai bersangkutan. Seperti telah disebutkan Carl Friedrich “ kelemahan dalam memperhatikan langkah-langkah organisator partai yang tidak memperkuat hubungan yang telah terbina ataupun ketiadaan upaya untuk membentuk hubungan-hubungan yang baru”, sering membahayakan kepada kelangsungkan masa depan partai.  Jika demikian adanya, apabila kita kembalikan kepada kondisi dan pola akomodasi kepartaian kita saat ini dengan memperhatikan tingginya kecenderungan untuk berkuasa dan memperoleh kursi sebanyak-banyaknya, elit partai kita sama sekali belum berani merumuskan sebuah bentuk akomodasi politik tanpa koalisi. Artinya, tanpa koalisipun akomodasi antar partai dapat berlangsung dengan positif dan konstruktif selama keterbukaan dan komunikasi antar partai bisa berlangsung dengan maksimal dan sinergis.
Upaya rekonstruksi kepartaian dan kepolitikan kita perlu dilakukan, tidak saja dalam kepentingan untuk menormalisasi kehidupan demokrasi antara partai dan negara, lebih dari itu, persoalan kita selama ini yakni ketidak seriusan elit politik dan organisatorisnya mengelola kepentingan rakyat dihadapan kekuasaan dalam berbagai bentuknya sesuatu yang lebih mendesak untuk perbaikan makna kepartaian kita saat ini. Tidak jelasnya posisi konstituen di hadapan elit partai, kecenderungan sentralisasi partai, ketiadaan program-program developmentalisme yang non-government, sampai kepada keberanian partai politik untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dalam peran pembangunannya, menjadi masalah-masalah yang mendesak untuk diselaikan.
Model akomodasi yang bagaimanakah yang tepat menurut masing-masing partai perlu terlebih dahulu dikembangkan, tentu terpulang kepada partai politik bersangkutan. Karena, walaupun partai terperangkap ke dalam adagium “meraih kekuasaan” tidak lantas membuat elit partai melakukan tindakan-tindakan yang cenderung ke arah a moral dan parokhial. Dengan keberhasilan mengelola akomodasi ini, maka fenomena demembering (pelepasan anggota) dan pelaksanaan pemilu dengan biaya teramat mahal dan berbahaya dapat dihindari oleh partai.
Dalam perspektif developmentalisme, kemampuan partai melakukan akomodasi akan berdampak positif terhadap partisipasi politik partai terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan pemberdayaan budaya demokrasi di lingkungan elit politik. Bukan sebaliknya, partai dan elitnya tidak lebih sebagai pekerja “kekuasaan” yang terjebak kedalam prilaku politik “parasit” negara,  di mana dengan alasan partai politik sebagai pilar demokrasi lantas membuat para elit partai menjual isu-isu demokratisasi untuk kepentingan sesaat dan pribadi.

Padang, 19 Januari 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar