Jumat, 28 Desember 2012

MENGHUKUM TANPA PASAL MATI

MENGHUKUM
TANPA “PASAL MATI”


Oleh


Irwan, SH, MH


Dalam salah satu film India yang mungkin tidak popular bagi sebagian orang, ada suatu fenomena menarik mengenai putusan hokum yang diambil oleh hakim di Negara yang menganut system hokum anglo saxon itu. Peristiwa hukumnya adalah “ sang bintang atau actor film tersebut ketika membawa mobil sedang menghubungi seseorang melalui handphonenya, dan tiba-tiba tanpa melihat di depannya ada mobil melintas sehingga pada akhirnya mobil tersebut bertabrakan yang mengakibatkan si actor tidak mengalami cidera, sedangkan yang ditabrak pasangan suami isteri meninggal dunia. Ketika kasus ini dibawa ke pengadilan, tudingan negative masyarakat mengemuka “hukum dibeli”, “pengadilan memihak orang kaya”, dan sebagainya. Dalam persidangan, putusan hakim adalah “ si actor atau pelakuk kejahatan itu dihukum dengan merawat 3 orang anak korban, membiayai pendidikannya, dan menjamin masa depannya sampai anak tersebut cukup umur”. Si actor tidak dihukum sesuai dengan pasal-pasal dalam kitab undang-undang, melainkan ia dihukum oleh hakim dengan “pasal” di luar kitab undang-undang.
Sekalipun kasus ini sesuatu yang lumrah di Negara India yang menganut system hokum anglo saxon, di mana hakim boleh mengambil keputusan berdasarkan pikiran, jiwa, dan kesadaran hukumnya, namun, suatu hal yang menarik adalah bahwa sebuah kesalahan tidak melulu harus dihukum berdasarkan atas “pasal mati” yang tidak memihak kepada kemanusiaan. Seandainya, kasus yang sama terjadi di Negara kita, si actor di hokum 7 tahun atau hukuman mati, lantas anak-anak si korban tidak lagi memiliki orang tua yang akan membiayai masa depan mereka, dalam pada waktu bersamaan “Negara tidak memiliki anggaran untuk menjamin masa depan anak”, tentu si korban akan mengalami dua kali kerugian, rugi nyawanya hilang dan rugi masa depan anaknya hilang. Adakah hokum atau pasal-pasal undang-undang dibuat untuk menghilangkan masa depan seseorang, baik pelaku kejahatan ataupun korbannya. Sebagaimana sering kita dengan guyonan mengenai pengadilan dan berperkara di persidangan “ menang menjadi abu kalah menjadi arang”. Artinya, sering pencarian keadilan di peradilan malah menghilangkan keadilan itu sendiri, kalah dihukum, menang membayar. Apabila dikembalikan kepada kasus di atas, manakah lebih berat hidup di penjara selama 7 tahun atau membesarkan anak orang lain dengan jaminan kepastian terjaminnya masa depan mereka. Di bawah pengawasan pengadilan, hokum ditegakkan di sisi pelaku kejahatan, bukan menyelematkan pelaku dari kesalahannya dengan membatasi hak-hak dirinya “ yang mungkin “ masih mampu memberikan kebaikan dari kesalahan yang telah terjadi.
Menyimak model hokum kita yang masih “asing dan Belanda” itu, sepertinya hokum dan hukumannya tidak memiliki akar peradaban yang membumi, apatah lagi jika dikaitkan dengan sejarah pembentukkan hokum yang nyata-nyata “anti pribumiisme” itu. Hokum yang “asing dan Belanda” itu diproduk untuk “menjajah dan mengkerangkeng “kebaikan” dan “kebelumsalahan” pribumi yang nota bene di mata kaum penjajah sangat “hina” dan dipantaskan seperti binatang jahat yang pantas dihukum dan dibatasi gerak dan masa depan hidupnya dalam “pasal mati” dengan rumah penjaranya.
Belajar hokum sepertinya tidak begitu penting lagi, karena, jaksa, polisi, hakim dan maupun advokat pada akhirnya akan berpikir dan berkesadaran hokum di atas pasal mati. Kecerdasan, nurani, jiwa, dan perspektif hokum tidak lagi dapat digunakan. Pasal-pasal mati inilah yang lebih mengedepan daripada wawasan hokum. Dinamika suatu kejahatan dan kesalahan yang begitu komplek dan berlatar belakang jamak, pupus dengan satu ultimatum pasal mati yang cenderung a histories dan a kontekstual. Jika kemudian ada orang yang terhukum bukan karena kesalahannya, namun lebih karena tuntutan dari pasal mati, para aparat hokum pada akhirnya tidak bertangggungjawab terhadap adanya kealpaan dari pasal mati itu sendiri.
Pasal mati yang aneh ini terus dipupuk dan dipelihara karena dipandang mampu menghukum tanpa para penegak hokum perlu bekerja keras untuk “membedah” kejahatan yang dilakukan seseorang. Dengan pasal mati, pekerjaan lebih menjadi mudah dan cepat, karena, jikapun ada kesalahan, prosesnya akan menjadi lebih rumit lagi, karena memang pasal mati dijamin oleh dirinya sendiri dan para pengikutnya bahwa pasal mati itu tidak salah. Apalagi rakyat bangsa ini pada dasarnya sudah penakut dan kurang menghargai hak-hak kemanusiaannya, maka semakin tepatlah posis pasal mati menjadi “algojo” untuk menghancurkan peradaban hokum di bangsa ini.
Bahwa kesalahan harus dihukum merupakan pandangan dasar untuk mewujudkan kestabilan dan keamanan dimasyarakat. Tetapi, setiap kesalahan harus dihukum dan balas dengan pengingkaran terhadap hak asasi manusia, tentu tidak dapat diterima. Hakim, jaksa, polisi, dan advokat adalah “pasal hidup” yang berguna untuk melakukan penyesuaian dan konstruksi terhadap kesalahan, sehingga kesalahan itu mendapatkan pasal yang proporsional ketika dihadapkan dengan pasal mati. Tentu akan menjadi aneh, ketika pasal mati lebih mematikan pasal hidup yang ada di kepala jaksa, hakim, polisi dan advokat. Jika ini yang terjadi, maka tidaklah ada harapan yang dapat digantungkan kepada pasal-pasal  hidup yang ada dalam benak hakim.
Falsafah hokum mengatakan fiat justitia ruod coulum (keadilan harus ditegakkan, sekalipun langit mau runtuh). Yang ditegakkan itu adalah keadilan, dan keadilan tidak melulu terbalasinya “sakit hati” korban terhadap pelaku kejahatan. Boleh jadi keadilan itu sesuatu yang tidak berbau hukuman, namun, ia dapat memberikan kepuasan dan ketenangan kepada pihak korban. Persoalannya kemudian, mampukah para pembuat hukum dan pemutus hukum kita untuk berpikir filosofis dalam setiap keputusan hukum yang diambil. Atau, undang-undang tetap menjadi “tuhan” yang mesti dipatuhi.
           


Jambi, 7 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar