Jumat, 28 Desember 2012

AKOMODASI PARPOL UNTUK PEMBANGUNAN

Accommodation dimaksudkan sebagai istilah yang berarti penyesuaian antara dua buah objek yang antara satu dengan lainnya saling berkepentingan. Dalam hal ini, penyesuaian itu dihubungkan dengan partai politik yang secara internal memiliki kualitas-kualitas tersendiri. Penyesuaian dimaksudkan untuk menyatukan konsepsi dan program dalam kaitannya dengan proyek-proyek demokratisasi, pembangunan dan partisipasi politik konstituen masing-masing partai. Pola akomodasi ini tidak melulu dalam bentuk koalisi atuapun membagi-bagikan kekuasaan kepada kelompok politik lainnya. Melalui accommodation ini, diharapkan terjalin empowering partai politik dalam setiap tindakan, kebijakan, dan keputusan yang terkait langsung dengan kepentingan publik dan pembangunan tanpa menghilangkan identitas masing-masing partai.
Seperti dikemukakan oleh Carl Friedrich dalam pidatonya di depan Internasional Political Science Assocation tahun 1970 ia mengkritik para ilmuwan politik yang telah mengabaikan sifat negatif yang dimiliki sistem demokrasi, seperti pelepasan tanggungjawab, penyalahgunaan jabatan, korupsi, nondecesion, penindasan, dan sebagainya. Para ilmuwan juga lupa melihat bentuk-bentuk lingkage (hubungan) yang tidak positif di tubuh partai politik sebagai akibat terlalu memberikan perhatian yang berlebihan terhadap fungsi agregasi kepentingan partai dan kealpaan dalam memperhatikan tingkah laku aktor partai dalam keberhasilan mereka memperkuat hubungan yang ada ataupun dalam membentuk hubungan-hubungan yang baru. Kelemahan dua aspek ini, sifat negatif demokrasi dan aktor politik yang tertutup sering memberikan pengaruh yang dapat membentuk sebuah kerangka operasional yang menjadikan tindakan-tindakan aktor partai cenderung oligarkis.
Kecenderungan oligarkis yang tidak dapat dikontrol dan dikelola menjadi tindakan politik yang tidak terukur, di samping ketertutupannya dan pelepasan tanggungjawab, bagaimanapun partai politik yang diharapkan menjadi penghubung antara kepentingan masyarakat, elit, dan kekuasaan, berjalan dengan pincang. Sering yang berkembang kemudian hubungan vertikal antara elit dengan kekuasaan, sedangkan rakyat tereleminir dengan segala harapan dan keinginannya. Bahkan kecenderungan untuk melakukan hubungan horizontal dengan sesama partai politik di satu wilayah pemilihan berjalan dengan tidak normal dan selalu mengandung potensi konflik. Ketidak normalan membangun akomodasi konflik antara konstituen dengan partai politik lainnya inilah sebagai indikasi tidak adanya kebijakan partai untuk memberdayakan partisipasi politik rakyat menjadi terhormat dan diperhartikan.
Menurut A. H. Sonjee ada tiga macam hubungan yang selalu terpelihara dalam partai politik, yaitu hubungan interes lingkage (hubungan kepentingan), normative lingkage (hubungan normatif), dan operational lingkage (hubungan operasional). Ketiga bentuk hubungan in bekerja sesuai dengan keterkaitan dan kepentingan yang melingkupinya. Kepentingan-kepentingan itu berupa perolehan kursi, kekuasaan, pengaruh, jabatan, dan suara, sehingga melalui kepentingan bersama antara rakyat dengan elit partai kedua belah pihak kemudian saling melakukan tawar menawar untuk saling memberikan, rakyat memberikan suaranya dan elit politik atau calon legislatif memberikan tanggapan mereka terhadap aspirasi rakyat apakah melalui undang-undang maupun akomodasi lainnya.
Interes lingkage (hubungan kepentingan) di dasari oleh bertemunya dua kepentingan – masyarakat dan elit partai – yang independen. Masyarakat dengan struktur sosialnya berupaya mengartikulasikan kepentingan utamanya dalam sistem politik modern, sementara itu partai dengan harapan memperoleh dukungan menetapkan rencana-rencana politik atau program-program yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan sekaligus elit partai. Dengan adanya common program antara masyarakat dengan partai terjadi saling keterpengaruhan di atas kepentingan untuk memperoleh keuntungan.
Bahkan dalam bentuk yang lebih opensif, partai juga menjadi sarana penyedia informasi, mempersatukan orang yang saling berkepentingan, kepercayaan, dan aspirasi politik yang beraneka ragam. Kritik yang dikemukakan Morton Grodzins tentang “dinamika internal” berakibat kepada kecenderungan yang tinggi terhadap perpecahan daripada mempersatukan tuntutan. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan konflik itu tidak bertahan cukup lama, karena ketika menjelang pemilihan, partai hampir-hampir tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang significan dengan kepentingan rakyat. Menjelang pemilihan dan bahkan tidak jarang sampai paska pemilihan agregasi kepentingan masyarakat hampir-hampir tidak lagi terkelola dengan aspiratif dan bertanggungjawab.
Normative lingkage (hubungan normatif) yang hampir-hampir tidak berlangsung dengan rasional dan bertanggungjawab di tubuh partai dan konstituennya dipengaruhi oleh kepentingan yang lebih kepada mempertahankan citra partai dan kepentingannya. Dari perspektif normatif, sistem partai politik memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada elit penguasa, media massa, dan elit-elit partai untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan yang terkait dengan kemakmuran dan pembangunan masyarakat.
Diakui bahwa hubungan normatif ini tidak selalu berjalan dengan normal, baik sebagai wujud dari rendahnya kontribusi partai terhadap hubungan normatif itu sendiri maupun dipengaruhi oleh adagium kekuasaan dan penetapan pengikut adalah sesuatu yang lebih penting. Beberapa contoh bisa dikorelasikan dengan konsepsi ini, seperti; tidak adanya dukungan konstituen Golkar secara menyeluruh terhadap persoalan hukum Akbar Tanjung, persoalan itu lebih dikaitkan dengan perspektif politis di satu sisi, secara horizontal, partai-partai lain sama sekali tidak berani untuk menegakkan norma hukum, setidak-tidaknya dengan mengeluarkan resolusi ataupun ketentuan-ketentuan hukum agar tindakan Akbar Tanjung itu dapat dikaitkan dengan kepentingan untuk memelihara norma hukum dan norma moral masyarakat di sisi lain. Atau kasus yang paling marak yaitu tuduhan korupsi yang mengejala di tubuh legislatif, dengan kumpulan wakil partai di legislatif, partai cenderung tertutup untuk mengkaitkannya dengan hubungan-hubungan normatif yang padahal dengan itu diharapkan adanya ketegasan yang bersifat mengikat, antara wakil partai di legislatif dengan kepentingan norma hukum dan norma moral masyarakat sebagai pemberi mandat. Banyak kasus yang memperlihatkan bagaimana hubungan normatif itu tidak terkelola dalam kerangka pembangunan partai dan elitnya yang demokratis dan bahkan cenderung, kepentingan partai lebih menguat dan “menorma” dari pada berbagai keharusan-keharusan normatif yang dijalankannya terhadap kepentingan yang lebih luas dan fundamental.
Sementara itu, fungtional lingkage (hubungan fungsional) adalah aktifitas yang dilakukan untuk membentuk dan memperkuat struktur dukungan bagi organisasi partainya. Mereka ini adalah perantara-perantara politik yang secara bersamaan terikat dengan kepentingan untuk memperoleh keuntungan potensial bagi dirinya. Menariknya, hubungan fungsional ini sangat terorganisir sedemikian rupa ketika pelaksanaan pemilihan akan berlangsung, kecenderungan konflik yang biasanya berlangsung paska atau sebelum pemilihan sangat kentara, maka ketika pemilihan ataupun kampanye sedang berlangsung maka konfik tersebut cenderung tidak ada. Persoalannya kemudian adalah bagaimana perantara-perantara politik ini bekerja setelah mereka tidak lagi memiliki tanggungjawab untuk memenangkan partai atau haruskah mereka bertanggungjawab untuk menjembatani tawaran-tawaran atau janji politik yang mereka ucapkan sewaktu pemilihan dengan wakil partai yang duduk di legislatif.
Dari ketiga bentuk hubungan kepartaian ini, hubungan fungsional lebih dekat dengan kajian tentang tanggungjawab untuk melakukan pengakomodasian terhadap pertentangan-pertentangan dalam maupun antar partai politik. Padahal dalam konflik partai yang tajam, persoalan horse-trading (jual beli anggota) atau pelarian anggota – pengurus dan anggota biasa – sering tidak dapat dielakkan.
Dari fungsi inilah kita bisa melacak sejauh mana akomodasi yang dilakukan oleh para penghubung ini mampu membangun citra dan atau setidak-tidaknya menjalin kerja sama antar partai sehingga mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat dan pembangunan di mana partai itu berdomisili.
Jika menyimak masalah akomodasi kepentingan antar partai politik, persoalan yang sampai sekarang tidak pernah terselesaikan apakah secara konseptual ataupun tekhnis pragmatis adalah ketiadaan kerja sama ataupun relasi-relasi pembangunan yang dirumuskan oleh masing-masing partai politik. Tingginya kecenderungan konflik kepentingan antar partai di satu sisi dan lemahnya kecenderungan budaya demokratis di sisi lain telah menjerumuskan partai politik ke dalam wilayah konflik yang seakan-akan tidak mungkin melakukan kerja sama dan bersama-sama merumuskan apa yang disebut di atas dengan normative lingkage (hubungan normatif).
Dengan adanya horizontal lingkage (hubungan sejajar) antara satu partai dengan partai lainnya dalam koridor penegakkan kepentingan masyarakat, pembangunan, demokratisasi, aksi massa, pengejewantahan aspirasi massa partai, maupun persoalan-persoalan perumusan kebijakan proyek-proyek bersama partai politik, minimal dalam usaha-usaha pemberdayaan ekonomi konstituen akan mampu menguatkan posisi tawar menawar (bargaining position) antara partai dengan wakilnya di legislatif, partai dengan pemerintah, maupun antara partai-legislatif-eksekutif, dan masyarakat.
Adapun model akomodasi yang dapat diterapkan dalam rangka membangun jaringan kerja sama dipetakan ke dalam empat bentuk akomodasi, yaitu akomodasi partai dengan partai, akomodasi individu antar partai,  akomodasi ekstra partai, dan akomodasi non partai. Akomodasi antar partai adalah akomodasi yang bersifat ke-partai-an, Akomodasi kepartaian adalah terjadinya inter-conection berupa perubahan peran dari extrem-dominan sebagai partai pemenang ke peran cervant-egalitarian sebagai partai yang membangun keterbukaan. Morris dan Jonnes dalam Dominance and Dissent: Their Inter-relations in the Indian Party Sistem: melihat keterbukaan yang dikembangkan oleh Partai Kongres dengan partai lainnya tidak semata-mata meniadakan penghalang saja melainkan juga supaya terdapat interaksi dan komunikasi yang positif di antara partai-partai tersebut, oleh karena itu, kekuasaan tidak perlu dibagikan kepada partai lainnya, karena yang terpenting adalah terlaksananya dialog dan pembicaraan yang dapat melaksanakan dua kepentingan dan program yang berbeda. 
Akomodasi antar individu antar partai dibandingkan dengan konflik yang terjadi pada akomodasi antar partai tidaklah sebegitu tajam dan riskan. Adanya jarak sebagai pengambil keputusan dengan mereka-mereka yang menjadi korban dari keputusan diorganisasi politik, intensitas konfilk di tingkat anggota lebih mudah cair. Adanya keterbukaan pada tingkat pengurus dan organisasi politik serta dikuatkan dengan jaringan akomodasi antar anggota lebih tepat untuk dijadikan sebagai masa pemulih keadaan paska pemilihan yang cenderung membawa friksi.
Akomodasi lintas partai - internal dan eksternal – tidak lantas menjamin terjadinya kolaborasi pragmatis dengan elit eksekutif. Kecenderungan-kecenderungan birokratis di tubuh pemerintahan dan badan-badannya bahkan tidak jarang dengan alasan ketakutan akibat intervensi dan agitasi partai, akomodasi non partai, apakah dengan kalangan eksekutif ataupun kalangan lembaga swadaya dan para marjinal sesuatu yang juga teramat penting. Sepenting keinginan partai untuk memperoleh kesempatan mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah.
Di luar dari ketiga bentuk akomodasi itu, akomodasi non partai walaupun tidak terlalu signifikan dengan kepentingan partai, tetapi kecenderungan untuk memperoleh dukungan dan pengaruh di luar electoral-contest tetap sesuatu yang menarik. Akomodasi antar partai politik dengan akomodasi ekstra politik sering menghasilkan konsensi-konsensi politik yang menguntungkan pihak-pihak terkait, berbeda dengan yang diperoleh oleh akomodasi individu antar partai, sering mereka hanya memperoleh kekecewaan, apakah karena ketidak berartian dukungan yang diberikan ataupun dikarenakan dukungan yang diberikan telah memperoleh hasilnya dalam perebutan kekuasaan dan pengaruh.
Dari keempat bentuk akomodasi di atas, adalah mungkin mencoba mengarahkan partai kepada satu model untuk merumuskan  langkah-langkah penyesuaian yang diharapkan bernilai positif dengan demokrasi. Walaupuan dikuatiri partai politik akan berani mengambil langkah-langkah accountabilty dan responsbility dari proses akomodasi yang ada, namun setidak-tidaknya ada upaya untuk menjelaskan kepada elit politik dan para aristokratnya tentang keperluan untuk lebih mengutamakan penyesuaian-penyesuaian konstruktif agar konflik dan pertikaian kecenderungan yang bersifat oligarkis dapat dikikis.
Logika elit politik untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan secara mutlak dari rakyat jika dibandingkan dengan kenyataan-kenyataan faktual yang dialami oleh elit dan organisasi politik saat ini, seperti dominasi sekelompok orang, ketidak percayaan, penipuan, dan ketiadaan kebijakan yang terkait dengan kepentingan masyarakat, menggambarkan sebuah fenomena political decay yang oleh masyarakat sangat tidak diharapkan. Oleh karena itu, akomodasi dalam  berbagai bentuknya apabila dikelola dengan political-empaty akan bisa memperbaiki harapan dan ataupun dukungan masyarakat terhadap partai bersangkutan. Seperti telah disebutkan Carl Friedrich “ kelemahan dalam memperhatikan langkah-langkah organisator partai yang tidak memperkuat hubungan yang telah terbina ataupun ketiadaan upaya untuk membentuk hubungan-hubungan yang baru”, sering membahayakan kepada kelangsungkan masa depan partai.  Jika demikian adanya, apabila kita kembalikan kepada kondisi dan pola akomodasi kepartaian kita saat ini dengan memperhatikan tingginya kecenderungan untuk berkuasa dan memperoleh kursi sebanyak-banyaknya, elit partai kita sama sekali belum berani merumuskan sebuah bentuk akomodasi politik tanpa koalisi. Artinya, tanpa koalisipun akomodasi antar partai dapat berlangsung dengan positif dan konstruktif selama keterbukaan dan komunikasi antar partai bisa berlangsung dengan maksimal dan sinergis.
Upaya rekonstruksi kepartaian dan kepolitikan kita perlu dilakukan, tidak saja dalam kepentingan untuk menormalisasi kehidupan demokrasi antara partai dan negara, lebih dari itu, persoalan kita selama ini yakni ketidak seriusan elit politik dan organisatorisnya mengelola kepentingan rakyat dihadapan kekuasaan dalam berbagai bentuknya sesuatu yang lebih mendesak untuk perbaikan makna kepartaian kita saat ini. Tidak jelasnya posisi konstituen di hadapan elit partai, kecenderungan sentralisasi partai, ketiadaan program-program developmentalisme yang non-government, sampai kepada keberanian partai politik untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dalam peran pembangunannya, menjadi masalah-masalah yang mendesak untuk diselaikan.
Model akomodasi yang bagaimanakah yang tepat menurut masing-masing partai perlu terlebih dahulu dikembangkan, tentu terpulang kepada partai politik bersangkutan. Karena, walaupun partai terperangkap ke dalam adagium “meraih kekuasaan” tidak lantas membuat elit partai melakukan tindakan-tindakan yang cenderung ke arah a moral dan parokhial. Dengan keberhasilan mengelola akomodasi ini, maka fenomena demembering (pelepasan anggota) dan pelaksanaan pemilu dengan biaya teramat mahal dan berbahaya dapat dihindari oleh partai.
Dalam perspektif developmentalisme, kemampuan partai melakukan akomodasi akan berdampak positif terhadap partisipasi politik partai terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan pemberdayaan budaya demokrasi di lingkungan elit politik. Bukan sebaliknya, partai dan elitnya tidak lebih sebagai pekerja “kekuasaan” yang terjebak kedalam prilaku politik “parasit” negara,  di mana dengan alasan partai politik sebagai pilar demokrasi lantas membuat para elit partai menjual isu-isu demokratisasi untuk kepentingan sesaat dan pribadi.

Padang, 19 Januari 2004

ADILLAH WAHAI PENEGAK HUKUM

ADILLAH WAHAI PENEGAK HUKUM


Oleh


Irwan, SH, MH.


PENDAHULUAN
            Dalam salah satu dialog penulis dengan seorang polisi muda di Kapolres Kota Padang mengenai tersangka, penjahat, penulis menangkap suatu pernyataan yang sangat filosofis dan penting ditiru oleh para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan advokat sebagai bagian dari catur wangsa di negeri ini. Dalam dialog tersebut, sang polisi muda mengatakan “ mengapa kita harus menyiksa tersangka untuk mendapatkan informasi, toh mereka juga manusia yang terkadang salah, yang harus kita benci adalah perbuatannya, jangan orangnya dibenci, karena boleh jadi setelah dia keluar dari penjara, dia sewaktu-waktu dapat menjadi teman dan menolong kita. Lebih lanjut ia katakan, yang saya benci adalah perbuatannya, bukan manusianya, oleh karena itu tidak sepantasnya jika ia diperlakukan secara tidak adil apalagi dianiaya, seakan-akan kita juga penjahat yang berbaju negara”. Dengan pernyataannya itu, saya langsung menanggapi, sepertinya bapak sudah sangat memahami apa arti filsafat hukum pidana, jika semua catur wangsa di negeri ini mengerti ini, tentu mereka akan malu jika menjadikan kewajibannya sebagai alat untuk menjadi penjahat juga.
            Menyimak dialog di atas, memang mempertanyakan kepada para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim maupun pengacara (advokat) tentang keadilan sepertinya sangat penting. Karena, sering keadilan tidak dapat diberikan dengan maksimal kepada pencari keadilan, karena terbatas oleh sikap, tindakan, dan maupun rendahnya keprofesinalan sehingga pada akhirnya adigium “ jika bisa disalahkan kenapa harus dibenarkan” sepertinya sangat nyata dan tidak terhindarkan.
            Sebenarnya jika kita menengok secara lebih leluasa, ketidakadilan sepertinya tidak lagi hanya menjadi kesalahan para catur wangsa tersebut, bahkan di kantor-kantor pemerintah, swasta, lembaga perwakilan rakyat, kampus, sekolah, pergaulan, peribadatan, pasar, sampai ke rumah tangga, keadilan telah menjadi persoalan. Keadilan dianggap sebagai momok yang jika diberikan akan mendatangkan kemudharatan bagi pelaku ketidakadilan. Oleh karena itu, demi ketidakadilan kita saling menipu, berbohong, menindas, atau sekali-sekali membunuh. Sepertinya keadilan memang menjadi musuh abadi bagi peradaban bangsa ini.

MENGHUKUM TANPA PASAL MATI

MENGHUKUM
TANPA “PASAL MATI”


Oleh


Irwan, SH, MH


Dalam salah satu film India yang mungkin tidak popular bagi sebagian orang, ada suatu fenomena menarik mengenai putusan hokum yang diambil oleh hakim di Negara yang menganut system hokum anglo saxon itu. Peristiwa hukumnya adalah “ sang bintang atau actor film tersebut ketika membawa mobil sedang menghubungi seseorang melalui handphonenya, dan tiba-tiba tanpa melihat di depannya ada mobil melintas sehingga pada akhirnya mobil tersebut bertabrakan yang mengakibatkan si actor tidak mengalami cidera, sedangkan yang ditabrak pasangan suami isteri meninggal dunia. Ketika kasus ini dibawa ke pengadilan, tudingan negative masyarakat mengemuka “hukum dibeli”, “pengadilan memihak orang kaya”, dan sebagainya. Dalam persidangan, putusan hakim adalah “ si actor atau pelakuk kejahatan itu dihukum dengan merawat 3 orang anak korban, membiayai pendidikannya, dan menjamin masa depannya sampai anak tersebut cukup umur”. Si actor tidak dihukum sesuai dengan pasal-pasal dalam kitab undang-undang, melainkan ia dihukum oleh hakim dengan “pasal” di luar kitab undang-undang.
Sekalipun kasus ini sesuatu yang lumrah di Negara India yang menganut system hokum anglo saxon, di mana hakim boleh mengambil keputusan berdasarkan pikiran, jiwa, dan kesadaran hukumnya, namun, suatu hal yang menarik adalah bahwa sebuah kesalahan tidak melulu harus dihukum berdasarkan atas “pasal mati” yang tidak memihak kepada kemanusiaan. Seandainya, kasus yang sama terjadi di Negara kita, si actor di hokum 7 tahun atau hukuman mati, lantas anak-anak si korban tidak lagi memiliki orang tua yang akan membiayai masa depan mereka, dalam pada waktu bersamaan “Negara tidak memiliki anggaran untuk menjamin masa depan anak”, tentu si korban akan mengalami dua kali kerugian, rugi nyawanya hilang dan rugi masa depan anaknya hilang. Adakah hokum atau pasal-pasal undang-undang dibuat untuk menghilangkan masa depan seseorang, baik pelaku kejahatan ataupun korbannya. Sebagaimana sering kita dengan guyonan mengenai pengadilan dan berperkara di persidangan “ menang menjadi abu kalah menjadi arang”. Artinya, sering pencarian keadilan di peradilan malah menghilangkan keadilan itu sendiri, kalah dihukum, menang membayar. Apabila dikembalikan kepada kasus di atas, manakah lebih berat hidup di penjara selama 7 tahun atau membesarkan anak orang lain dengan jaminan kepastian terjaminnya masa depan mereka. Di bawah pengawasan pengadilan, hokum ditegakkan di sisi pelaku kejahatan, bukan menyelematkan pelaku dari kesalahannya dengan membatasi hak-hak dirinya “ yang mungkin “ masih mampu memberikan kebaikan dari kesalahan yang telah terjadi.
Menyimak model hokum kita yang masih “asing dan Belanda” itu, sepertinya hokum dan hukumannya tidak memiliki akar peradaban yang membumi, apatah lagi jika dikaitkan dengan sejarah pembentukkan hokum yang nyata-nyata “anti pribumiisme” itu. Hokum yang “asing dan Belanda” itu diproduk untuk “menjajah dan mengkerangkeng “kebaikan” dan “kebelumsalahan” pribumi yang nota bene di mata kaum penjajah sangat “hina” dan dipantaskan seperti binatang jahat yang pantas dihukum dan dibatasi gerak dan masa depan hidupnya dalam “pasal mati” dengan rumah penjaranya.
Belajar hokum sepertinya tidak begitu penting lagi, karena, jaksa, polisi, hakim dan maupun advokat pada akhirnya akan berpikir dan berkesadaran hokum di atas pasal mati. Kecerdasan, nurani, jiwa, dan perspektif hokum tidak lagi dapat digunakan. Pasal-pasal mati inilah yang lebih mengedepan daripada wawasan hokum. Dinamika suatu kejahatan dan kesalahan yang begitu komplek dan berlatar belakang jamak, pupus dengan satu ultimatum pasal mati yang cenderung a histories dan a kontekstual. Jika kemudian ada orang yang terhukum bukan karena kesalahannya, namun lebih karena tuntutan dari pasal mati, para aparat hokum pada akhirnya tidak bertangggungjawab terhadap adanya kealpaan dari pasal mati itu sendiri.
Pasal mati yang aneh ini terus dipupuk dan dipelihara karena dipandang mampu menghukum tanpa para penegak hokum perlu bekerja keras untuk “membedah” kejahatan yang dilakukan seseorang. Dengan pasal mati, pekerjaan lebih menjadi mudah dan cepat, karena, jikapun ada kesalahan, prosesnya akan menjadi lebih rumit lagi, karena memang pasal mati dijamin oleh dirinya sendiri dan para pengikutnya bahwa pasal mati itu tidak salah. Apalagi rakyat bangsa ini pada dasarnya sudah penakut dan kurang menghargai hak-hak kemanusiaannya, maka semakin tepatlah posis pasal mati menjadi “algojo” untuk menghancurkan peradaban hokum di bangsa ini.
Bahwa kesalahan harus dihukum merupakan pandangan dasar untuk mewujudkan kestabilan dan keamanan dimasyarakat. Tetapi, setiap kesalahan harus dihukum dan balas dengan pengingkaran terhadap hak asasi manusia, tentu tidak dapat diterima. Hakim, jaksa, polisi, dan advokat adalah “pasal hidup” yang berguna untuk melakukan penyesuaian dan konstruksi terhadap kesalahan, sehingga kesalahan itu mendapatkan pasal yang proporsional ketika dihadapkan dengan pasal mati. Tentu akan menjadi aneh, ketika pasal mati lebih mematikan pasal hidup yang ada di kepala jaksa, hakim, polisi dan advokat. Jika ini yang terjadi, maka tidaklah ada harapan yang dapat digantungkan kepada pasal-pasal  hidup yang ada dalam benak hakim.
Falsafah hokum mengatakan fiat justitia ruod coulum (keadilan harus ditegakkan, sekalipun langit mau runtuh). Yang ditegakkan itu adalah keadilan, dan keadilan tidak melulu terbalasinya “sakit hati” korban terhadap pelaku kejahatan. Boleh jadi keadilan itu sesuatu yang tidak berbau hukuman, namun, ia dapat memberikan kepuasan dan ketenangan kepada pihak korban. Persoalannya kemudian, mampukah para pembuat hukum dan pemutus hukum kita untuk berpikir filosofis dalam setiap keputusan hukum yang diambil. Atau, undang-undang tetap menjadi “tuhan” yang mesti dipatuhi.
           


Jambi, 7 Februari 2010

KERUMITAN HUBUNGAN PRESIDENSIALISME DENGAN MULTIPARTISME

PRESIDENSIALISME, MULTIPARTISME
DAN DEMOKRASI 
Suatu Kombinasi yang Rumit


Scott Mainwaring[1]

            Pilihan lembaga politik sangat penting. Lembaga-lembaga memberikan insentif dan disinsentif bagi para pelaku politik, membentuk identitas pelaku politik, menetapkan konteks di mana pembuatan kebijakan terjadi, dan dapat membantu atau menghambat dalam pembentukan rezim yang demokratis. Dan di antara semua pilihan mengenai lembaga, tak ada yang lebih penting dari sistem pemerintahan: presidensial, semipresidensial, parlementer, atau kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai.
            Pilihan lembaga politik sangat penting selama peralihan menuju demokrasi. Dalam negara demokrasi yang terkonsolidasi, lembaga-lembaga ini biasanya mempunyai posisi yang kuat dan jarang berubah. Para pelaku politik sudah menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga ini, dan mereka juga merancang strategi mereka. Selama masa peralihan, para pelaku politik berpeluang besar untuk merancang atau merombak lembaga-lembaga politik. Karena itu, tidak mengherankan bila peralihan menuju demokrasi di Amerika Latin, Eropa Timur, dan di kawasan lainnya belakangan ini telah menimbulkan perdebatan baru mengenai apa lembaga politik yang paling mungkin mencapai tujuan demokrasi dan pembangunan.
            Dengan mempertimbangkan pentingnya sistem pemerintahan, sedikit sekali penelitian mengenai presidensialisme (sistem presidensial) di luar Amerika Serikat yang dilakukan antara tahun 1960-an dan pertengahan tahun 1980-an. Namun demikian, baru-baru ini telah terjadi perubahan. Dalam sebuah artikel menarik yang telah beredar luas dalam format yang belum dipublikasikan sejak tahun 1985, Linz, menyatakan bahwa sistem presidensial mempunyai kelemahan yang membuatnya kurang dapat mendukung demokrasi yang berkelanjutan dibandingkan dengan sistem parlementer. Sejak saat itu, perdebatan mengenai presidensialisme telah menjadi isu penting yang berkaitan dengan negara-negara demokrasi baru.
            Daripada membahas masalah umum atau keunggulan sistem presidensial, sebagaimana yang dilakukan Linz, atau studi kasus tertentu, sebagaimana yang dilakukan beberapa analis lain, artikel ini memusatkan perhatian pada subkategori sistem presidensial: sistem presidensial dalam demokrasi multipartai. Saya berpendapat bahwa kombinasi presidensialisme dan multipartisme (sistem multipartai) membuat demokrasi yang stabil sulit dipertahankan. Karena banyak negara demokrasi presidensial menerapkan sistem multipartai, pendapat ini menimbulkan pengaruh luas terhadap penelitian dan perdebatan politik mengenai pilihan lembaga di negara demokrasi baru.
            Artikel ini membahas kurangnya data mengenai presidensialisme dalam mempertahankan demokrasi selama minimal 25 tahun berturut-turut. Hanya 4 dari 31 negara demokrasi yang stabil menerapkan sistem presidensial, meskipun sistem ini banyak diterapkan. Artikel ini kemudian membahas beberapa kelemahan yang sering dikaitkan dengan presidensialisme: kekakuan yang berkaitan dengan jadwal yang tetap, kebuntuan eksekutif/legislatif, dan kemungkinan besar bahwa kepala pemerintahan mempunyai pengalaman administrasi dan pengalaman partai yang terbatas.
Fakta bahwa sedikit sekali data yang tersedia mengenai demokrasi presidensial multipartai belum mendapat perhatian. Tak satu pun dari 31 negara demokrasi yang stabil di dunia menerapkan sistem ini, dan hanya ada satu contoh historis yang menerapkan sistem ini – Cile dari tahun 1933 sampai 1973. Telah banyak usaha untuk membangun demokrasi dengan sistem multipartai dan presidensialisme tapi saat ini, negara demokrasi yang paling lama menerapkan kombinasi kelembagaan ini adalah Ekuador, yang telah menerapkan demokrasi sejak tahun 1979. Situasi ini menimbulkan tiga pertanyaan yang berkaitan: mengapa kombinasi kelembagaan ini tidak dapat mendukung demokrasi yang stabil, mengapa multipartisme semakin menambah masalah presidensialisme, dan mengapa presidensialisme semakin menambah kesulitan yang ditimbulkan oleh multipartisme.
Presidensialisme multipartai lebih mungkin menimbulkan kebuntuan eksekutif/legislatif ketimbang sistem parlementer atau presidensialisme dua partai. Berbeda dengan sistem parlementer, sistem presidensial tidak mempunyai mekanisme untuk menjamin mayoritas parlemen. Partai presiden sering mencapai mayoritas atau mendekati mayoritas dalam sistem dua partai, tapi hal ini jarang terjadi dalam multipartisme. Presiden sering harus membangun koalisi parlemen baru dalam setiap isu. Dalam hal ini, pemerintahan presidensial multipartai mirip dengan pemerintahan parlementer minoritas, tapi dalam kebanyakan sistem parlementer pemerintahan hanya bertahan selama pemerintahan tersebut mendapat dukungan parlemen mayoritas dalam isu-isu penting.          
Sistem dua partai juga mungkin lebih cocok dengan demokrasi presidensial karena lebih kecil kemungkinan terjadinya polarisasi ideologi dengan hanya dua partai. Hambatan masuk yang besar membuat para pelaku politik radikal tetap berada di luar sistem partai, dan keharusan untuk memenangkan suara dari pusat mendorong terjadinya moderasi. Tidak adanya partai ekstrim dan sifat sentripetal dari kompetisi partai mendukung tercapainya stabilitas demokrasi dengan meyakinkan para pelaku politik bahwa kekalahan pemilu dan kebijakan tidak akan menjadi bencana besar.
Yang terakhir, kombinasi presidensialisme dan multipartisme dipersulit oleh kesulitan pembentukan koalisi antar partai dalam demokrasi presidensial. Koalisi multipartai dalam sistem parlementer berbeda dalam tiga aspek dengan koalisi multipartai dalam sistem presidensial, yang semuanya membuat koalisi ini menjadi kurang stabil dalam presidensialisme.
Pertama, dalam sistem parlementer, partai-partai memilih menteri-menteri kabinet dan perdana menteri, dan mereka tetap bertanggung jawab untuk memberikan dukungan kepada pemerintah. Dalam sistem presidensial, presiden membentuk kabinetnya sendiri, dan partai-partai kurang berkomitmen untuk mendukung pemerintah.
Kedua, berbeda dengan situasi dalam sistem parlementer, dalam banyak sistem presidensial para anggota parlemen dari partai-partai yang mempunyai jabatan di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, insentif bagi partai-partai untuk membubarkan koalisi umumnya lebih kuat dalam sistem presidensial.
Pada tataran teori, alasan memusatkan perhatian pada sistem presidensial multipartai adalah bahwa sifat dari sistem partai sangat mempengaruhi jalannya presidensialisme, sebagaimana yang terjadi dalam sistem parlementer. Namun demikian, berbeda dengan kebanyakan literatur mengenai cara kerja sistem parlementer multipartai (khususnya mengenai pembentukan koalisi), hampir tidak ada tulisan mengenai dinamika kelembagaan dalam sistem presidensial multipartai.
Artikel ini membuka kembali perdebatan lama mengenai apakah multipartisme mendukung tercapainya demokrasi yang stabil dengan menyatakan bahwa multipartisme sering ditemukan dalam pemerintahan presidensial. Dan artikel ini juga membahas perdebatan mengenai bahaya presidensialisme (Linz, 1990) dengan menyatakan bahwa kombinasi presidensialisme dan multipartisme sering menimbulkan masalah.

Definisi
            Suatu negara demokrasi harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, negara demokrasi harus mengadakan pemilu yang terbuka dan kompetitif yang menentukan siapa yang memerintah. Hasil pemilu tidak dapat ditentukan dengan kecurangan, kekerasan, atau larangan umum, dan jabatan legislatif dan eksekutif harus diputuskan berdasarkan pemilu. Pada dasarnya, pemilu harus memberi kesempatan pergantian kekuasaan walaupun pergantian yang sebenarnya tidak terjadi, seperti di Jepang. Kedua, di zaman modern ini harus ada hak pilih orang dewasa yang mendekati universal. Sampai puluhan tahun terakhir, kriteria ini masih diperdebatkan karena sebagian negara yang biasanya dianggap negara demokrasi (seperti Swis) tidak melibatkan wanita, tapi ini sudah tidak berlaku lagi. Ketiga, harus ada jaminan kebebasan sipil mendasar seperti kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan organisasi, proses pengadilan yang adil, dan seterusnya.
            Bahkan dengan definisi demokrasi yang cukup jelas dan operasional sekalipun, menentukan pemerintahan mana yang demokratis sulit dilakukan. Dalam menyusun daftar negara-negara demokrasi dalam periode pasca-1945, saya mentolerir sedikit penyimpangan dari ketiga kriteria yang mencirikan pemerintahan yang demokratis. Menurut istilah Stephens (1989), saya memasukkan demokrasi yang terbatas, yang ditandai oleh pembatasan dalam partisipasi, kompetisi, atau kebebasan sipil, dan juga demokrasi penuh. Karena itu, saya memasukkan Swis sebelum tahun 1971, Cile sebelum tahun 1958, Peru sebelum tahun 1980, Brazil antara tahun 1946 dan 1964, dan beberapa negara lainnya yang melakukan pembatasan dalam partisipasi. Namun demikian, pembatasan partisipasi di Afrika Selatan dan Samoa Barat begitu besar sehingga kedua negara ini tidak dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi walaupun pemilu yang kompetitif diadakan secara teratur dan kebebasan sipil dilindungi bagi populasi pemilih. Saya juga mentolerir pembatasan dalam kompetisi, sehingga memasukkan Argentina (1958-1962, 1963-1966), Kolombia (1958-1974), India (1975-1977), dan beberapa kasus lainnya. Akhirnya, saya juga mentolerir pembatasan dalam kebebasan sipil.
Demokrasi presidensial mempunyai dua karakteristik yang jelas :
  1. kepala pemerintahan pada dasarnya dipilih oleh rakyat; ini meliputi Amerika Serikat, di mana dewan pemilih mempunyai otonomi yang terbatas dibandingkan dengan suara rakyat. Pemilu legislatif dan negosiasi pascapemilu tidak menentukan kekuasaan eksekutif. Apabila kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen, bukan sebagai alternatif kedua apabila suara rakyat tidak menghasilkan pemenang yang jelas, tapi sesbagai proses yang mendasar, sistem tersebut biasanya tergolong sistem parlementer dan tidak termasuk sistem presidensial. Negosiasi pascapemilu yang menentukan partai mana yang akan memerintah dan partai mana yang akan mengepalai pemerintahan sangat penting dalam rezim parlementer, sehingga negosiasi ini secara tidak langsung menentukan siapa yang akan menjadi perdana menteri. Negosiasi pascapemilu ini bukan bagian dari proses pemilihan kepala pemerintahan dalam sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, presiden harus menjadi kepala pemerintahan. Dalam sistem semipresidensial (seperti Finlandia dan Perancis), presiden yang dipilih rakyat menjadi kepala negara tapi tidak selalu menjadi kepala pemerintahan. Di Austria, Islandia, dan Irlandia, presiden dipilih dengan suara rakyat secara langsung tapi hanya mempunyai kekuasaan kecil dan karenanya tidak menjadi kepala pemerintahan. Di ketiga negara tersebut, sistem pemerintahannya adalah sistem parlementer, meskipun diadakan pemilu untuk menentukan presiden.
  2. Yang menonjol dari demokrasi prsidensial adalah presiden dipilih untuk masa jabatan yang tetap. Kebanyakan demokrasi presidensial membolehkan impeachment (pendakwaan pejabat negara), tapi praktek ini jarang dilakukan dan tidak begitu mempengaruhi definisi kita karena sifatnya yang luar biasa. Presiden tidak bisa dipaksa mundur karena mosi tidak percaya dari parlemen. Sebaliknya, dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen dan dengan demikian bergantung pada kepercayaan parlemen agar tetap menduduki jabatannya; karena itu, jangka waktu mandat kepala pemerintahan dapat diubah.
            Sebagai kesimpulan, sejalan dengan Lijphart (1984, hal. 68-74), saya mendefinisikan presidensialisme menurut dua dimensi: apakah kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen dan apakah masa jabatannya tetap. Tabel 1 memperlihatkan kedua dimensi ini. Beberapa karakteristik lainnya biasanya dihubungkan dengan pemerintahan presidensial atau parlementer tapi tidak dapat dimasukkan dalam definisi presidensialisme. Sebagian analis menghubungkan hak parlemen untuk melakukan interpelasi anggota kabinet dengan pemerintahan parlementer, tapi praktek ini juga ditemukan dalam beberapa sistem presidensial di Amerika Latin. Dalam beberapa sistem presidensial (seperti Peru), parlemen dapat meminta pemberhentian menteria tertentu, yang merupakan ketentuan lain yang lebih sering dikaitkan dengan sistem parlementer. Banyak sistem presidensial membolehkan anggota parlemen untuk menjadi anggota kabinet; karakteristik ini juga kadang-kadang dianggap sebagai karakteristik dari pemerintahan parlementer.
            Akhirnya, penjelasan diperlukan mengenai klasifikasi saya mengenai sistem partai. Yang saya maksud dengan sistem partai yang dominan adalah situasi di mana partai yang sama selalu memenangkan mayoritas kursi dalam periode beberapa puluh tahun (definisi Sartori, 1976), atau situasi di mana selama selingan demokrasi yang singkat, partai terbesar memenangkan setidaknya 70% kursi. Dalam sistem dua partai, partai yang lebih besar mendapatkan mayoritas kursinya sendiri, tapi pergantian pemerintahan terjadi. Yang saya maksud dengan partai dua setengah adalah dua partai mendominasi kompetisi pemilu, di mana satu partai kadang-kadang mencapai mayoritas, tapi seringkali partai terbesar tidak mendapatkan mayoritas. Saya mengumpulkan semua kasus multipartisme, walaupun saya sependapat dengan Sartori bahwa untuk keperluan lain perbedaan dalam kategori ini sangat penting. Selanjutnya, masalah-masalah yang terkait dengan kombinasi presidensialisme dan multipartisme cenderung meningkat bila fragmentasi sistem partai menjadi lebih besar; karena itu, jumlah partai yang lebih banyak (menurut pengertian Sartori) lebih problematis daripada tiga atau empat partai.

Presidensialisme dan Demokrasi yang Stabil
            Demokrasi yang stabil (berkelanjutan) didefinisikan dengan jelas di sini berdasarkan usia demokrasi, lebih jelasnya minimal 25 tahun demokrasi tanpa gangguan. Tabel 2 [2] memperlihatkan negara-negara demokrasi yang stabil di dunia pada tahun 1992.
            Sistem presidensial belum berjalan dengan baik. Dari 31 negara yang telah menerapkan demokrasi yang berkelanjutan sejak minimal tahun 1967, hanya empat – Kolombia, ditambah dengan Kosta Rika, Amerika Serikat, dan Venezuela – menerapkan sistem presidensial. Dua puluh empat negara demokrasi yang stabil menerapkan sistem parlementer, dua menerapkan sistem semipresidensial, dan satu menerapkan kombinasi presidensial dan parlementer.
            Kurangnya negara demokrasi presidensial yang stabil bukan disebabkan oleh sedikit jumlah kasus. Saya mengumpulkan data mengenai pemerintahan yang demokratis yang sudah ada pada tahun 1945 atau yang terbentuk setelah tahun 1945. Saya tidak memasukkan negara demokrasi yang runtuh sebelum tahun 1945 karena kesulitan dalam memperoleh data untuk periode ini. Saya juga tidak memasukkan pemerintahan yang terbentuk segera setelah kemerdekaan pascapenjajahan dan yang runtuh dalam lima tahun. Alasan pengecualian ini adalah pemilu pertama sering disponsori oleh negara bekas penjajah. Bukannya hasil kerja para pemimpin politik dan partai lokal, demokrasi dibentuk dari luar. Selanjutnya, kebanyakan dari rezim tersebut sejak awal mempunyai catatan demokrasi yang meragukan. Bila suatu pemerintahan semidemokratis atau demokratis yang baru merdeka bertahan selama setidaknya lima tahun, pemerintahan tersebut telah lulus beberapa ujian penting dan layak dimasukkan dalam kategori negara-negara yang berusaha menciptakan poliarki.
            Negara-negara demokrasi pasca-1945 dapat dibagi menjadi empat kategori, di mana tiga di antaranya relevan di sini:
a)      negara demokrasi yang pada tahun 1992 telah menerapkan minimal 25 tahun demokrasi tanpa gangguan (Tabel 2);
b)      pemerintahan yang pada masa tertentu telah menerapkan minimal 25 tahun demokrasi tanpa gangguan tapi kemudian runtuh setelah tahun 1945 (Tabel 3);
c)      pemerintahan demokratis yang runtuh antara tahun 1945 dan 1992 tanpa mencapai masa minimal 25 tahun penerapan demokrasi (Tabel 4); dan,
d)     negara demokrasi yang masih ada yang belum mencapai minimum 25 tahun penerapan demokrasi.
Kategori terakhir ini tidak dimasukkan dalam analisis saat ini karena kasus ini belum dapat dianggap sebagai demokrasi yang stabil. Hanya 7 dari 31 (22,6%) demokrasi presidensial telah bertahan sselama minimal 25 tahun berturut-turut, dibandingkan dengan 25 dari 44 sistem parlementer (56,8%), 2 dari 4 sistem kombinasi presidensial dan parlementer (50,0%), dan 2 dari 3 sistem semipresidensial (66,7%).
            Sedikitnya negara demokrasi presidensial yang stabil mungkin tidak ada hubungannya dengan presidensialisme, tapi ada beberapa alasan untuk meyakini kemungkinan hubungannya. Blondel dan Suarez (1981), Lijphart (sedang dicetak), Linz, Riggs (1988), dan Suarez (1982), telah menyatakan bahwa presidensialisme lebih kecil kemungkinannya mendukung tercapainya demokrasi yang stabil. Saya tidak sependapat dengan semua kritikan mereka, dan kebanyakan dari pengritik tersebut mengabaikan beberapa keunggulan dari sistem presidensial (Shugart & Carey, 1992; Ceaser, 1986). Namun demikian, saya sependapat bahwa presidensialisme umumnya kurang cocok untuk demokrasi dan bahwa presidensialisme mempunyai beberapa kelemahan yang nyata, tiga di antaranya dibahas dalam uraian berikut.
            Barangkali kelemahan komparatif utama dari sistem presidensial adalah kesulitan dalam menangani krisis besar. Sistem presidensial kurang memberikan fleksibilitas dalam situasi krisis karena usaha-usaha untuk menjatuhkan presiden langsung mengguncangkan sistem secara keseluruhan. Tidak ada cara yang mulus untuk mengganti presiden yang sangat tidak populer di mata masyarakat umum dan telah kehilangan sebagian besar dukungannya di parlemen. Presiden mengundurkan diri bila telah kehilangan sebagian besar dukungan di parlemen tapi pengunduran diri adalah tindakan personal presiden, dan karena itu bukan merupakan cara yang sudah melembaga dalam menghadapi suatu krisis. Selanjutnya, bila seorang presiden mengundurkan diri, pengunduran diri ini sering memperparah krisis karena wakil presiden umumnya tidak mempunyai legitimasi sekuat presiden.
            Dalam banyak kasus, kudeta nampaknya menjadi satu-satunya cara untuk menyingkirkan presiden yang tidak cakap atau tidak populer. Misalnya, di Cile pada tahun 1973 para penentang pemerintahan Persatuan Populer kuatir bahwa dengan membiarkan Allende menyelesaikan masa jabatan enam tahunnya (19701976), mereka akan memberikan peluang bagi terjadinya sosialisme otoriter. Allende sudah kehilangan dukungan mayoritas parlemen, dan dalam sistem parlementer, ia akan diturunkan dari jabatannya. Namun demikian, dalam sistem presidensial tidak ada cara untuk menggantinya kecuali dengan kudeta. Mengingat kekuatiran bahwa pemerintahan Persatuan Populer tidak akan menghormati aturan main dan bahwa menunggu berakhirnya masa jabatan Allende bisa menimbulkan bencana yang sangat besar, oposisi cenderung mendukung suatu kudeta. Dengan dmeikian, usaha untuk menyingkirkan orang yang tidak cakap atau tidak populer bisa meruntuhkan rezim. 
            Salah satu keunggulan utama dari sistem presidensial adalah “sistem presidensial dirancang untuk menghasilkan stabilitas eksekutif, dan itulah yang terjadi” (Powell, 1982, hal. 63). Tapi kesimpulan Powell didasarkan pada beberapa kasus demokrasi presidensial, bukan sistem presidensial. Jarang sekali kepala pemerintahan diturunkan dari jabatan sebelum berakhirnya masa jabatannya tanpa keruntuhan rezim dalam sistem presidensial, sehingga bila kita hanya memasukkan negara demokrasi yang stabil, stabilitas presiden yang lebih tinggi jadi tidak mengherankan. Suarez (1982) mengemukakan bahwa sistem presidensial menghasilkan stabilitas eksekutif yang lebih rendah bila kita memasukkan semua kasus dan bukan hanya negara demokrasi yang stabil.
            Sebagaimana yang dikemukakan Linz, kita harus membedakan antara stabilitas kabinet dan stabilitas rezim. Sistem parlementer mempunyai mekanisme yang bisa menyebabkan seringnya pergantian kabinet dan pemerintahan, tapi fleksibilitas dalam pemerintahan yang sering berganti ini dapat membantu mempertahankan stabilitas rezim. Sebaliknya, jadwal pemilu yang tetap dalam rezim presidensial jelas menjamin stabilitas kepala pemerintahan tapi menimbulkan kekakuan yang tidak mendukung terjadinya stabilitas rezim.
            Jadwal pemilu presiden yang tetap juga mempunyai kelemahan bagi presiden yang menyelesaikan jabatannya (Blondel & Suarez, 1981). Kebanyakan konstitusi presidensial (kecuali konstitusi Republik Dominika, Amerika Serikat, Nikaragua, dan Filipina) melarang pemilu ulang presiden segera. Akibatnya, presiden kehilangan jabatan meskipun masyarakat umum, elit dan partai politik, dan para pelaku politik utama lainnya tetap mendukungnya.
            Kelemahan kedua dari presidensialisme, yaitu kemungkinan besar terjadinya kebuntuhan eksekutif/legislatif, umumnya disebabkan oleh pemilu kedua cabang pemerintahan yang terpisah dan diperparah oleh masa jabatan yang tetap. Sistem presidensial lebih rawan mengalami imobilitas (kemacetan politik) dibandingkan dengan sistem parlementer karena dua alasan utama. Sistem ini lebih rawan menghasilkan program eksekutif yang selalu ditentang oleh legislatif, dan sistem ini kurang mampu mengatasi masalah ini. Presiden mungkin tidak dapat menjalankan suatu rencana tindakan yang terpadu karena penentangan parlemen, tapi tidak ada pelaku politik lain yang dapat mengatasi masalah ini dengan tetap mematuhi aturan main yang berlaku.
            Masalah ketiga dalam presidensialisme disebabkan oleh pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, yang nampaknya memang diharapkan. Kelemahan pemilu langsung oleh rakyat adalah orang-orang luar politik dengan sedikit pengalaman dalam menghadapi parlemen bisa terpilih. Sebagaimana yang diperlihatkan pemenang pemilu presiden di Brazil pada tahun 1989 dan di Peru pada tahun 1990, individu-individu bisa membuat partai menjelang pemilu untuk mencalonkan diri sebagai presiden, dan hubungan mereka dengan partai mereka biasanya tidak kuat. Masalah ini sangat berat bila sistem partai relatif lemah dan bila elit-elit partai tidak mengontrol proses pemilihan calon presiden.
            Meskipun saya sependapat dengan para pengritik presidensialisme dalam poin-poin penting ini, tak satu pun dari poin ini yang menunjukkan bahwa demokrasi tidak dapat dipertahankan dengan presidensialisme, bahwa presidensialisme adalah penyebab utama pergantian demokrasi di negara-negara tertentu, atau bahwa pemerintahan parlementer akan selalu berjalan lebih baik. Kebanyakan demokrasi presidensial telah diterapkan di Amerika Latin, di mana di kebanyakan negara beberapa faktor lainnya telah menyebabkan ketidakstabilan demokrasi; dalam pengertian ini, ada kemungkinan keyakinan yang berlebihan. Selain itu, tidak ada korelasi yang benar-benar jelas antara sistem pemerintahan dan efektifitas kebijakan.
Salah satu negara demokrasi presidensial (Amerika Serikat) terbukti berhasil menurut sebagian besar standar historis/komparatif, dan Kosta Rika dan Venezuela mempunyai lembaga-lembaga demokrasi yang kuat dengan sistem presidensial. Banyak sistem parlementer telah menghasilkan pemerintahan yang efektif, tapi sebagian tidak demikian, di mana Republik Perancis Ketiga dan Keempat sering dikutip sebagai contoh. Akhirnya, sifat dari sistem partai dan hak istimewa kelembagaan tertentu di lembaga eksekutif dan legislatif bisa mendorong atau menghambat kelangsungan demokrasi presidensial atau parlementer. Ada beberapa jenis presidensialisme dan parlementerisme yang berbeda, dan perbedaan antara satu varian dan varian lainnya bisa sangat besar (Shugart & Carey, 1992); perbedaan sifat partai dan sistem partai juga sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan presidensial dan parlementer.

Presidensialisme, Multipartisme, dan Demokrasi yang Stabil
            Pandangan bahwa sistem presidensial multipartai mungkin sangat tidak mendukung tercapainya stabilitas demokrasi diperkuat oleh kurangnya negara demokrasi yang stabil yang menerapkan kombinasi kelembagaan ini. Tabel 5 [3] memperlihatkan daftar negara-negara demokrasi yang stabil menurut indek Rae untuk fragmentasi sistem partai dan jumlah partai yang efektif. Keempat negara demokrasi yang stabil mempunyai sedikit partai yang efektif :
1,9 untuk Amerika Serikat
2,1 untuk Kolombia
2,2 untuk Kosta Rika,
2,8 untuk Venezuela.
Indeks rata-rata untuk keempat negara demokrasi presidensial tersebut adalah Fs sebesar 0,55 dan 2,2 partai yang efektif. Indeks rata-rata untuk 24 negara demokrasi parlementer adalah Fs sebesar 0,60 dan 3,1 partai yang efektif; untuk tiga negara demokrasi lainnya Fs rata-ratanya adalah 0,73 dan Ns rata-ratanya 4,6.
            Tabel 6 [4] memperlihatkan nilai Fs dan Ns untuk semua sistem presidensial yang menerapkan minimal 25 tahun demokrasi tanpa gangguan, yang mencakup tiga negara (Cile, Filipina, dan Uruguay) yang sekarang merupakan negara demokrasi yang tidak stabil. Enam dari tujuh negara demokrasi presidensial yang stabil mempunyai kurang dari tiga partai yang efektif. Hanya Cile menerapkan sistem multipartai sejati di antara negara-negara demokrasi presidensial yang stabil, walaupun Venezuela juga menerapkan sistem yang sama sebelum tahun 1973. Tabel ini juga memperlihatkan bahwa sejumlah sistem prsidensial dua partai berjalan cukup baik sehingga demokrasi berjalan selama minimal 25 tahun.
            Korelasi antara sistem dua partai dan negara demokrasi presidensial yang stabil ini menjadi tidak relevan bila sistem dua partai diterapkan dalam demokrasi presidensial, tapi ini tidak terjadi. Dari 31 negara demokrasi presidensial yang terdaftar pada Tabel 2, 3, dan 4, 15 di antaranya menerapkan sistem multipartai, dibandingkan dengan 10 sistem dua partai, 5 sistem partai dominan, dan 1 sistem dua setengah partai. Hanya 1 dari 15 negara demokrasi presidensial multipartai bertahan selama minimal 25 tahun, dibandingkan dengan 5 dari 10 negara demokrasi presidensial dua partai dan dengan 11 dari 21 sistem parlementer multipartai. Walaupun data ini tidak menyeluruh, data tersebut menunjukkan bahwa masalah tersebut lebih disebabkan oleh kombinasi presidensialisme dan multipartisme ketimbang disebabkan oleh presidensialisme atau multipartisme.
            Di antara negara-negara demokrasi presidensial yang stabil, tidak adanya sistem multilpartai sangat jelas. Namun demikian, pengamatan ini tidak menjelaskan mengapa sistem multipartai kurang mendukung tercapainya demokrasi presidensial yang stabil dibandingkan dengan sistem dua partai. Tanpa penjelasan logis, tetap ada kemungkinan bahwa ini merupakan suatu kebetulan atau suatu korelasi yang semu. Tapi ada beberapa alasan untuk meyakini bahwa kombinasi sistem presidensialisme dan sistem multipartai lebih menyulitkan usaha untuk mencapai demokrasi yang stabil.
            Sistem dua partai itu sendiri belum tentu diharapkan. Sistem ini membatasi luasnya opini yang diwakili, dan sistem ini menghambat pembentukan pemerintahan koalisi, sehingga mempersulit usaha menciptakan bentuk-bentuk demokrasi konsosiasional (Lijphart). Sebagaimana pendapat Sartori (1976, h. 191-192), sistem dua partai menjadi kurang fungsional dan kurang layak bila perbedaan opini menjadi lebih besar. Namun demikian, dalam sistem presidensial format dua partai nampaknya lebih mendukung usaha menciptakan deokrasi yang stabil. Pertanyaannya adalah mengapa multipartisme dan presidensialisme sulit digabungkan, mengapa sistem dua partai mengurangi masalah presidensialisme dan mengapa parlementerisme mengurangi kesulitan multipartisme.
            Menurut saya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini ada tiga. Dalam sistem presidensial, multipartisme meningkatkan kemungkinan kebuntuan dan imobilitas eksekutif/legislatif. Multipartisme juga meningkatkan kemungkinan polarisasi ideologi. Akhirnya, dengan multipartisme, presiden harus membangun koalisi antarpartai untuk meluluskan undang-undang, tapi pembentukan koalisi antarpartai dalam sistem presidensial lebih sulit dan kurang stabil dibandingkan dengan dalam sistem parlementer. Saya menguraikan poin-poin ini pada tiga bagian selanjutnya.
Presidensialisme, Multipartisme, dan Imobilitas
            Presidensialisme multipartai lebih mungkin menimbulkan kebuntuan eksekutif/legislatif dibandingkan dengan sistem parlementer atau presidensialisme dua partai, dan sistem presidensial kurang cocok untuk menangani kebuntuan eksekutif/legislatif dibandingkan dengan sistem parlementer. Karena pemisahan kekuasaan, sistem presidensial tidak mempunyai cara untuk menjamin bahwa presiden akan mendapat dukungan mayoritas di parlemen. Presiden dipilih tanpa campur tangan parlemen, dan pemenangnya belum tentu berasal dari partai mayoritas, kalau memang ada. Dalam beberapa sistem presidensial, calon-calon dari partai kecil dapat mencalon diri menjadi presiden.
            Bila presiden dapat memerintah secara efektif tanpa mayoritas, apakah mereka mendapat suara mayoritas atau tidak menjadi tidak relevan. Sistem presidensial didasarkan pada pemikiran bahwa parlemen dapat menghambat tindakan presiden, sehingga menjadi pengawas dan pengimbang, tapi pengawasan dan pengimbagan ini bisa menyebabkan imobilitas dan kebuntuan. Menyadari masalah ini, kebanyakan konstitusi presidensial memberikan kekuasaan legislatif yang lebih besar kepada presiden dibandingkan dengan kekuasaan presiden Amerika Serikat, walaupun kekuasaan presiden sangat bervariasi antar konstitusi (Shugart dan Carey, 1992). Dalam kebanyakan demokrasi presidensial, presiden sangat bertanggung jawab atas kebijakan dan undang-undang, dan fungsi kebijakan utama parlemen adalah mengawasi lembaga eksekutif. Fakta ini telah membuat sebagian pengamat (seperti Lambert, 1969) menyimpulkan bahwa presiden mempunyai kekuasaan diktator. Walaupun pandangan ini memang tepat untuk rezim otoriter, pandangan ini umumnya tidak benar dalam pemerintahan yang demokratis (Archer & Chernick, 1989; Mainwarning, 1990).
            Dalam kebanyakan sistem presidensial, peran presiden ditandai oleh ambivalensi dan ambiguitas (Blondel & Suarez, 1981; Suarez, 1982). Presiden mempunyai kekuasaan besar dalam beberapa bidang, tapi lemah di bidang lain. Presiden bertanggung jawab atas berbagai kegiatan, tapi presiden sering mengalami kesulitan menjalankan agenda kebijakannya bila tidak mendapat dukungan yang aman di parlemen. Hasil akhirnya sering tidak memuaskan: presiden memonopoli agenda kebijakan, tapi bila dukungan parlemennya hilang, presiden tidak dapat melaksanakan agendanya. Dukungan parlemen sangat diperlukan untuk mengesahkan undang-undang, dan sulit memerintah secara efektif tanpa mengesahkan undang-undang. Berbeda dengan pandangan umum, presiden sering lebih lemah daripada perdana menteri, bukan karena presiden mempunyai hak istimewa konstitusional yang terbatas, tapi karena kebuntuan eksekutif/legislatif. Namun banyaknya masalah yang dialami negara-negara miskin memerlukan lembaga eksekutif yang efektif dan kuat.
            Walaupun kebanyakan parlemen tidak mempunyai kekuasaan untuk memprakarsai kebijakan, mereka mempunyai kekuasaan untuk menghambat agenda presiden (Archer & Chernick, 1989; Santos, 1986). Bila parlemen selalu menggunakan kekuasaan tersebut, kebuntuan politik bisa terjadi. Dalam pemerintahan yang demokratis, terdapat suatu sistem pengawasan dan pengimbangan, tapi perangkat pengawasan dan pengimbangan ini dapat melumpuhkan kekuasaan eksekutif bila presiden kehilangan dukungan di parlemen. Karena itu, walaupun kebanyakan presdien cukup berkuasa dibandingkan dengan parlemen, mereka sering mengalami kesulitan dalam menjalankan agenda mereka karena penentangan parlemen. Karena kemampuan membuat kebijakan terletak di tangan eksekutif, penentangan parlemen menyulitkan pembuatan kebijakan yang efektif.
            Kelemahan sistem presidensial ini terjadi kecuali bila terdapat salah satu dari kondisi berikut:
a)      partai presiden mendapat suara mayoritas di parlemen dan selalu mendukung presiden;
b)      koalisi partai-partai mencapai suara mayoritas dan selalu mendukung presiden; dan
c)      presiden tidak mendapat dukungan mayoritas yang stabil di parlemen tapi mampu memerintah dengan menciptakan koalisi dinamis.
Namun demikian, karena alasan-alasan yang akan dibahas nanti, kondisi (b) lebih sulit dicapai dalam sistem presidensial dibandingkan dengan dalam sistem parlementer, dan kondisi (c) tidak mungkin stabil. Secara umum, semakin banyak kursi yang diperoleh partai presiden di parlemen, semakin mudah mencapai kondisi (b) dan (c).
            Kecenderungan terjadinya kebuntuan dan kemacetan sangat besar dalam demokrasi presidensial multipartai, khususnya pada sistem partai yang sangat terfragmentasi. Dalam keadaan ini, presiden mungkin kehilangan dukungan parlemen yang stabil, sehingga pelaksanaan agenda kebijakan menjadi lebih sulit. Kemacetan dan pertikaian tajam antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif sering terjadi, dengan kemungkinan dampak negatif terhadap stabilitas demokrasi dan/atau pemerintahan yang efektif. Pertikaian tajam antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif bisa menyebabkan kelumpuhan pembuatan keputusan (Santos, 1986). Di negara demokrasi baru, kelumpuhan ini dapat menimbulkan dampak negatif. Bila selain sangat terfragmentasi, sistem partai juga terpolarisasi, kesulitan memerintah akan semakin besar.
            Kemungkinan kemacetan lebih kecil dalam sistem presidensial dua partai dan sistem parlementer. Adanya sistem dua partai meningkatkan kemungkinan bahwa presiden akan mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, dan dengan demikian mengurangi kemungkinan kebuntuan eksekutif/legislatif. Sistem dua partai belum tentu lebih mampu menangani masalah-masalah yang ditimbulkan karena tidak adanya dukungan parlemen, tapi sistem ini lebih mampu menghindari masalah ini. Kolom terakhir pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa dalam enam dari tujuh negara demokrasi presidensial yang stabil, partai presiden rata-rata menguasai lebih dari 45% kursi di majelis rendah.
            Sistem parlementer juga umumnya lebih mampu memberikan dukungan yang stabil kepada pemerintah dibandingkan dengan sistem presidensial multipartai. Kebanyakan negara demokrasi parlementer selalu mempunyai pemerintahan mayoritas, sehingga pemerintah mendapat basis dukungan parlemen yang aman. Sebaliknya, gagasan pemerintahan mayoritas cukup sulit diterapkan dalam demokrasi presidensial tanpa partai mayoritas. Dalam sistem parlementer, pemerintahan mayoritas adalah pemerintahan di mana partai atau partai-partai yang mempunyai jabatan di kabinet mendapat suara mayoritas di parlemen. Dalam beberapa sistem presidensial, tidak jarang pemerintah mempunyai anggota kabinet dari partai tertentu namun menghadapi penentangan banyak anggota partai tersebut di parlemen. Perwakilan kabinet tidak menjamin bahwa para anggota parlemen partai tersebut akan mendukung pemerintah. Tidak adanya kaitan antara afiliasi partai anggota kabinet dan koalisi partai menyulitkan definisi pemerintahan minoritas dan mayoritas berdasarkan jabatan kabinet, dan tidak ada kriteria lain yang jelas. Apakah suatu partai mendapat jatah jabatan di kabinet tidak selalu relevan, karena yang mendapat jabatan tersebut mungkin individunya bukan partainya, dan mayoritas anggota partai tersebut mungkin menentang pemerintah.
            Walaupun pemerintahan mayoritas sudah lazim dalam sistem parlementer, pemerintahan minoritas sering terjadi. Strom (1990, h. 56-92) melaporkan bahwa antara tahun 1945 dan 1987, dari 345 pemerintahan di negara-negara industri maju yang menerapkan demokrasi parlementer, 111 di antaranya adalah pemerintahan minoritas sejati. Norwegia, Swedia, dan Denmark lebih sering mengalami pemerintahan minoritas ketimbang mayoritas. Pemerintahan minoritas mendapatkan dukungan parlemen dengan menggunakan insentif (jabatan politik, patronase, dan agenda kebijakan) yang mirip dengan insentif yang digunakan dalam sistem presidensial. Namun demikian, ada juga perbedaan penting antara pemerintahan minoritas dalam demokrasi presidensial dan parlementer. Pemerintahan parlementer minoritas sejati dalam penelitian Strom (h. 116) rata-rata bertahan hanya 14 bulan. Namun demikian, pemerintahan presidensial di mana kebuntuan eksekutif/legislatif terjadi  harus terus berjalan tak peduli apakah mereka mendapat dukungan parlemen, dan masa jabatan presiden berlangsung selama enam tahun. Bila insentif untuk mendapatkan dukungan parlemen sudah hilang, sistem parlementer mempunyai mekanisme yang sudah terlembaga untuk mengatasi masalah ini; sistem presidensial tidak mempunyai mekanisme ini.
            Sistem presidensial multipartai tidak hanya rawan menimbulkan kebuntuan akibat jadwal pemilu yang tetap dan pemisahan kekuasaan tapi juga tidak mempunyai cara yang terlembaga untuk mengatasi kebuntuan ini (Linz, sedang dicetak). Karena jadwal pemilu yang tetap, walaupun parlemen menentang program presiden, parlemen tidak mempunyai cara untuk memberhentikan presiden kecuali untuk impeachment (pendakwaan pejabat negara). Namun demikian, impeachment umumnya dilakukan untuk kasus kriminal, dan parlemen tidak mempunyai landasan untuk mengadili presiden. Akibatnya, oposisi mungkin yakin bahwa satu-satunya cara menyingkirkan presiden yang tidak efektif adalah mendukung kudeta. Mekanisme mosi tidak percaya seperti dalam sistem parlementer tidak ada dalam sistem presidensial.
            Presiden tidak mempunyai instrumen untuk melaksanakan kebijakan selama terjadinya kebuntuan eksekutif/legislatif. Karena kebanyakan konstitusi presidensial demokratis melarang pemilu ulang segera, presiden menjadi lemah. Banyak presiden memulai masa jabatannya dengan kontrol kuat atas partainya sendiri, tapi kehilangan kontrol ini saat situasinya sebagai presiden yang lemah semakin jelas (Coppedge, 1988). Presiden tidak dapat membubarkan parlemen dan meminta pemilu baru, sebagaimana yang dapat dilakukan perdana menteri. Karena tidak adanya mosi percaya, tidak adanya ancaman ini menjadi insentif bagi partai yang tidak disiplin dalam sebagian sistem presidensial (Epstein, 1964, 1967). Presiden mungkin terpaksa menunggu berakhirnya masa jabatannya tanpa mampu melaksanakan paket kebijakan yang terpadu karena hilangnya dukungan. Pemerintahan Sarney (1985-1990) di Brazil menjadi contoh yang jelas; salah seorang pendukung parlemen yang vokal pada pertengahan tahun 1989 mengakui bahwa pemerintah hanya dapat mengandalkan 31 dari 570 suara di parlemen. Berbeda dengan kebanyakan perdana menteri, presiden tidak dapat membubarkan parlemen dan meminta pemilu baru. Mereka hanya menunggu bila kehilangan dukungan parlemen.
            Dalam keadaan sulit yang mengakibatkan kebuntuan eksekutif/legislatif dan jadwal pemilu yang tetap, presiden dan oposisi sering tergoda untuk menggunakan mekanisme ekstra-konstitusional untuk mencapai tujuan mereka. Kecewa dengan ketidakmampuan mereka untuk melakukan reformasi menurut batas-batas sistem tersebut, presiden sering berusaha mereformasi konstitusi atau melanggarnya. Kewenangan presiden dan kemungkinan pembuatan kebijakan yang terpadu bisa hilang. Karena perlunya selalu menciptakan mayoritas baru di parlemen, presiden sering mengabaikan keterpaduan kebijakan untuk mendapatkan dukungan terhadap program mereka. Di negara-negara di mana partai-partai tidak disiplin, presiden sering harus membangun koalisi baru dalam setiap undang-undang yang kontroversial.
            Karena perangkat pengawasan dan pengimbangan sering menimbulkan kebuntuan serius, hak istimewa konstitusional presiden dan parlemen selalu bertentangan dalam banyak demokrasi presidensial. Kecewa dengan kesulitan mereka dalam menjalankan kebijakan, presiden sering berusaha melakukan amandemen konstitusi yang menambah kekuasaan mereka. Parlemen umumnya sudah dalam posisi terpinggirkan dalam pembuatan keputusan, dan mereka menentang campur tangan presiden atas kewenangan mereka.
            Kebanyakan presiden melakukan perundingan dengan parlemen untuk mendapatkan dukungan terhadap program mereka. Mereka dapat menawarkan patronase kepada anggota parlemen yang mendukung mereka, sehingga mereka sudah mendapat dukungan saat menghadapi kelompok oposisi. Namun demikian, mendapatkan basis dukungan parlemen yang stabil sangat sulit dalam kondisi terbaik sekalipun dan hampir mustahil dalam kondisi krisis ekonomi. Selain itu, ketergantungan pada patronase sebagai cara mendapatkan dukungan terhadap kebijakan dapat menyebabkan kurangnya pemanfaatan sumber daya publik.
            Kemacetan dalam demokrasi presidensial sering menjadi penyebab utama terjadinya kudeta (Santos, 1986). Dalam konteks pemerintahan yang tidak efektif, masalah sosial dan ekonomi yang berat, dan mobilisasi politik yang didorong oleh para elit politik sebagai cara mendapatkan kemenangan dalam situasi kebuntuan, pemimpin otoriter dapat memperoleh dukungan untuk melakukan kudeta. Selanjutnya, kemacetan dapat mendorong terjadinya radikalisme, yang dianggap sebagai cara mengatasi kelemahan demokrasi. Walaupun presiden biasanya mengalami kesulitan dalam menjalankan programnya, mereka mempunyai tanggung jawab besar. Kebanyakan presiden mengepalai birokrasi negara yang besar dan rumit. Namun mereka selalu berusaha mendapatkan dukungan publik dan dengan demikian mempunyai sedikit waktu untuk mengawasi kegiatan administrasi dibandingkan dengan perdana menteri (Rose, 1981).
Selain itu, mereka biasanya mempunyai lebih sedikit pengalaman administrasi dibandingkan dengan perdana menteri (Suarez, 1982). Di Amerika Latin, kesenjangan antara tuntutan terhadap presiden dan kemampuan presiden semakin melebar belakangan ini akibat krisis ekonomi yang parah. Krisis ekonomi telah menyebabkan pembuatan keputusan tertutup dan teknokratis di lembaga-lembaga eksekutif, dan parlemen tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Tapi kemampuan presiden untuk menangani krisis ini sudah berkurang. Di masa lalu, kelemahan presiden yang dipilih secara demokratis mendorong terjadinya kudeta yang menyebabkan hipertrofi (penguatan) ekstrim lembaga eksekutif dan emaskulasi (pelemahan) atau abolisi (penghapusan) lembaga legislatif.
         Sistem presidensial dua partai juga menghadapi kekakuan kelembagaan bila kebuntuan eksekutif/legislatif terjadi, tapi seperti yang disebutkan sebelumnya, presiden lebih mungkin mendapatkan dukungan yang stabil di parlemen. Berbeda dengan sistem presidensial, sistem parlementer mempunyai mekanisme yang sudah terlembaga untuk mengatasi kebuntuan yang terjadi. Mosi tidak percaya dapat menjatuhkan pemerintah, sehingga dilakukan pemilu baru yang dapat mengubah keseimbangan kekuasaan dan membantu mengatasi krisis. Ketentuan ini memungkinkan penggantian presiden yang tidak populer atau tidak cakap, dengan ketegangan kelembagaan yang lebih kecil. Sering jatuhnya pemerintahan dapat menimbulkan ketidakstabilan, tapi masalah ini dapat dikurangi dengan langkah-langkah seperti mosi tidak percaya konstruktif di Jerman Barat atau Spanyol. Sebaliknya, bila perdana menteri kecewa karena kesulitan melaksanakan kebijakan dalam menghadapi kontrol oposisi di parlemen, dalam kebanyakan sistem parlementer, perdana menteri dapat meminta pemilu baru dalam usaha mencapai dukungan mayoritas. Bagaimanapun, ada cara untuk mengganti pemerintahan tanpa mengancam rezim.

Presidensialisme, Multipartisme, dan Plarisasi Ideologi
            Sistem dua partai atau sistem dua setengah partai juga lebih mungkin bersesuaian dengan demokrasi presidensial, karena polarisasi ideologi tidak mungkin terjadi. Kompetisi cenderung bersifat sentripetal karena untuk mendapatkan suara mayoritas, partai-partai harus memenangkan pemilu dari pusat spektrum politik (Downs, 1957). Sebagaimana yang diperlihatkan Inggris selama masa penerapan sistem dua partainya, partai-partai mungkin mempunyai ideologi dan program yang jelas dan berbeda, tapi untuk memenangkan pemilu, mereka harus menghindari ekstrimisme. Dalam kebanyakan sistem dua partai dan dua setengah partai, partai-partai dengan orientasi sentris dan moderat mendominasi pemilu. Karakteristik ini umumnya mendukung moderasi dan kompromi, karakteristik yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan demokrasi yang stabil (Levine, 1973; Powell, 1982, hal. 74-110; Reis, 1988; Rustow, 1955; Sani & Sartori, 1983; Sartori, 1976; Scully, 1992). Karena hambatan masuk yang besar, partai-partai kanan jauh dan kiri jauh tidak mendapat kesempatan untuk berkembang, dan tiadanya partai seperti ini mendukung stabilitas demokrasi.
            Demokrasi mensyaratkan kemauan para pelaku politik untuk menerima kekalahan pemilu dan kebijakan. Kemauan ini meningkat bila para pelaku politik yakin bahwa kekalahan dapat dibalik (menjadi kemenangan) melalui perjuangan yang demokratis dan bahwa kekalahan bukanlah bencana. Karena itu, para pelaku politik harus membuat seperangkat jaminan timbal-balik bahwa mereka tidak akan saling menjatuhkan. Membuat jaminan seperti ini lebih mudah bila kelompok ekstrim lemah dan bila kompromi dan moderasi terjadi. Sistem dua partai mempunyai beberapa kelemahan, tapi hambatan masuknya yang besar membatasi ekstrimisme, dan kecenderungan sentripetalnya umumnya mendorong terjadinya moderasi. Dalam kondisi seperti ini, masalah-masalah yang ditimbulkan oleh masa jabatan yang tetap jadi berkurang.
            Perbedaan ideologi yang besar meningkatkan taruhan permainan politik, mendorong terjadinya polarisasi, dan akibatnya, kurang mendukung demokrasi yang stabil. Perbedaan ideologi seperti ini tidak mungkin terjadi dalam konteks sistem dua partai. Inilah salah satu alasan mengapa demokrasi dua partai cenderung lebih kuat.

Presidensialisme, Multipartisme, dan Koalisi Partai  
            Sejauh ini pembahasan terfokus kepada mengapa multipartisme semakin menambah masalah yang ditimbulkan oleh presidensialisme. Sekarang saya melihat mengapa presidensialisme menyulitkan jalannya multipartisme dengan baik, dengan memusatkan perhatian pada masalah pembentukan koalisi dalam sistem presidensial. Dalam sistem multipartai, pembentukan koalisi antarpartai sangat penting untuk mencapai mayoritas parlemen. Walaupun perlunya pembentukan koalisi ini terdapat dalam sistem multipartai presidensial maupun parlementer, tiga faktor membuat pembentukan koalisi antarpartai yang stabil menjadi lebih sulit dalam demokrasi presidensial dibandingkan dengan sistem parlementer.  
            Pertama, dukungan partai terhadap pemerintah cenderung lebih aman dalam sistem parlementer berkat cara pembentukan dan pembubaran kekuasaan eksekutif. Dalam pemerintahan koalisi parlementer, partai-partai yang membentuk pemerintahan memilih menteri-menteri kabinet dan perdana menteri. Kekuasaan eksekutif dibentuk melalui kesepakatan pascapemilu di antara partai-partai dan dibagi di antara beberapa partai. Partai-partai itu sendiri sama-sama bertanggung jawab untuk memerintah dan berkomitmen untuk mendukung kebijakan pemerintah. Bila mereka tidak lagi mendukung pemerintah, ada kemungkinan bahwa pemilu baru akan diminta. Koalisi yang mempersatukan partai-partai bersifat mengikat selama periode pascapemilu. Koalisi ini membantu memastikan adanya dukungan parlemen terhadap pemerintah atau adanya cara untuk menjatuhkan pemerintah.
Dalam sistem presidensial, presiden (bukan partai-partai) bertanggung jawab membentuk kabinet. Presiden bisa mengadakan kesepakatan terlebih dahulu dengan partai-partai yang mendukungnya, tapi kesepakatan ini tidak mengikat sebagaimana dalam sistem parlementer. Presiden lebih bebas untuk memberhentikan menteri dan merombak kabinet dibandingkan dengan perdana menteri dalam pemerintahan koalisi. Pergantian kabinet biasanya menjadi keputusan presiden dan bukan diputuskan oleh partai. Otonomi presiden dalam membentuk kabinet adalah bagian dari koalisi kelembagaan yang umumnya lebih longgar yang bisa menimbulkan hilangnya dukungan parlemen yang stabil, karena sebagaimana presiden yang kurang terikat pada partai-partai, begitu pula partai-partai kurang terikat pada presiden. Para mitra koalisi lebih mungkin tetap menjadi sekutu setia bila mereka sendiri telah merundingkan ketentuan-ketentuan koalisi tersebut dibandingkan dengan bila mereka telah menyepakati ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh presiden. Kalau dalam sistem parlementer, koalisi partai umumnya terjadi setelah pemilu dan bersifat mengikat, dalam sistem presidensial, koalisi sering terjadi sebelum pemilu dan tidak mangikat setelah hari pemilu. Kekuasaan eksekutif tidak dibentuk melalui kesepakatan pascapemilu di antara partai-partai dan tidak dibagi di antara beberapa partai yang sama-sama bertanggung jawab untuk memerintah, walaupun para anggota dari beberapa partai sering ikut serta dalam kabinet. Koalisi pemerintah dalam sistem presidensial bisa sangat berbeda dengan koalisi pemilu, sedangkan dalam sistem parlementer koalisi yang sama yang bertanggung jawab untuk membentuk pemerintahan juga bertanggung jawab untuk memerintah.
Berbeda dengan situasi dalam pemerintahan koalisi dalam sistem parlementer, mayoritas sederhana dapat memberikan kontrol mutlak kekuasaan eksekutif (Lijphart, 1990). Karena pemisahan kekuasaan, kesepakatan di antara partai-partai mungkin hanya berkaitan dengan masalah parlemen, tanpa implikasi yang mengikat terhadap hubungan antara partai-partai tersebut dan presiden. Beberapa partai mungkin mendukung presiden selama kampanye pemilu, tapi ini tidak menjamin dukungan mereka setelah presiden menduduki jabatannya. Walaupun para anggota dari beberapa partai sering ikut serta dalam kabinet, partai-partai tersebut tidak bertanggung jawab atas pemerintahan. Partai-partai atau masing-masing anggota parlemen bisa bergabung dengan oposisi tanpa menjatuhkan pemerintahan. Seorang presiden bisa saja mengakhiri masa jabatannya dengan sedikit dukungan di parlemen.
            Kedua, dalam sistem presidensial, komitmen masing-masing anggota parlemen untuk mendukung kesepakatan yang telah dirundingkan oleh pimpinan partai sering kurang kuat. Pemberian jabatan di kabinet belum tentu menjamin dukungan partai terhadap presiden, sebagaimana yang terjadi dalam sistem parlementer. Komitmen masing-masing anggota parlemen untuk mendukung kebijakan partai sangat bervariasi, mulai dari partai-partai yang sangat kompak di Venezuela sampai partai-partai yang sangat tidak disiplin di Brazil dan Ekuador. Karena itu, tidak mungkin untuk menyimpulkan apa implikasi dari dukungan partai terhadap pemerintah sehubungan dengan jabatan masing-masing anggota parlemen. Misalnya, di Brazil, tidak adanya disiplin partai berarti masing-masing anggota parlemen dapat mendukung siapa pun yang mereka inginkan, suatu fakta yang meningkatkan ketidakstabilan dukungan parlemen terhadap kebijakan pemerintah. Sebaliknya, dalam sistem parlementer, masing-masing anggota parlemen relatif terikat untuk mendukung pemerintah kecuali bila partai mereka memutuskan untuk menarik dukungan kepada pemerintah. Para anggota parlemen bisa menjatuhkan pemerintah dan kehilangan kursi mereka dalam pemilu baru bila mereka gagal mendukung pemerintah (Epstein, 1964, 1967).
            Akhirnya, dorongan bagi partai-partai untuk mengundurkan diri dari koalisi lebih kuat dalam sistem presidensial dibandingkan dengan dalam banyak sistem parlementer. Dalam sistem presidensial multipartai, bila pemilu presiden baru sudah menjelang, para pemimpin partai umumnya merasa perlu menjaga jarak dengan presiden yang sedang berkuasa. Dengan tetap menjadi mitra laten dalam koalisi pemerintah, para pemimpin partai kuatir mereka akan kehilangan identitas mereka sendiri, ikut bertanggung jawab atas kesalahan pemerintah, dan tidak mendapat manfaat dari keberhasilan pemerintah (Coppedge, 1988). Singkatnya, para mitra koalisi kuatir mereka akan menanggung dampak pemilu yang biasanya berkaitan dengan presiden yang sedang berkuasa tanpa mendapatkan manfaatnya. Dalam sistem parlementer, komposisi pemerintahan ditentukan oleh partai-partai, sehingga kecil kemungkinan mereka menggunakan logika ini.

Kesimpulan
            Artikel ini menyatakan bahwa kombinasi pemerintahan presidensial dan sistem multipartai sulit diwujudkan. Artikel ini menggarisbawahi kurangnya negara demokrasi presidensial multipartai yang stabil dan kemudian menyatakan bahwa bukanlah suatu kebetulan bahwa sebagian besar negara demokrasi presidensial yang stabil mempunyai fragmentasi sistem partai yang terbatas. Walaupun artikel ini tidak membahas isu ini, isu ini menimbulkan kemungkinan bahwa kelemahan presidensialisme sangat berkaitan dengan situasi multipartisme. Kalau benar, argumen ini akan menentang pandangan umum bahwa jumlah partai tidak berpengaruh banyak dalam menentukan prospek demokrasi yang stabil. Selama dan tidak lama setelah Perang Dunia II, terkesan dengan stabilitas demokrasi di Inggris dan Amerika Serikat dan keruntuhan demokrasi di Jerman dan Italia, beberapa peneliti (seperti Duverger, 1954, h. 206-280; Hermens, 1941) menyatakan bahwa sistem dua partai lebih mendukung demokrasi, dan bahwa demokrasi multipartai cenderung lebih tidak stabil.
Topik pembicaraan ini berubah apda tahun 1960-an dan 1970-an, di mana tulisan Lijphart (1968, 1977) merupakan tulisan yang paling berpengaruh. Berdasarkan fakta bahwa banyak negara demokrasi multipartai telah mencapai stabilitas dalam jangka waktu yang alama di negara-negara demokrasi kecil di Eropa, Lijphart menyatakan bahwa dalam masyarakat yang majemuk, dengan perbedaan budaya, etnis, agama, atau bahasa yang menyolok, sistem multipartai mungkin lebih mampu dalam menciptakan demokrasi yang stabil. Dengan sistem dua partai, kelompok-kelompok minoritas yang signifikan akan selalu “tersingkir,” suatu situasi yang bisa mengurangi kemauan mereka untuk mematuhi aturan main. Sistem multipartai memungkinkan kelompok-kelompok minoritas ini mencapai keterwakilan yang signifikan dan berpartisipasi dalam koalisi pemerintah. Perdebatan ini belum selesai, tapi para analis berikutnya (seperti Sani & Sartori, 1983; Sanders & Herman, 1977) sependapat dengan Lijphart.
Perdebatan ini mengabaikan perbedaan antara sistem parlementer dan sistem presidensial. Multipartisme mungkin tidak mengurangi prospek demokrasi dalam sistem parlementer, tapi nampaknya multipartisme bisa mengurangi prospek demokrasi dalam sistem presidensial. Kombinasi kelembagaan memberikan dampak yang berbeda. Sebagian masalah yang biasa terjadi dalam sistem presidensial–terutama pertikaian antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang menimbulkan kemacetan politik (imobilitas) – semakin diperparah oleh multipartisme. Sebaliknya, pada pemerintahan parlementer tapi tidak pada pemerintahan presidensial, sistem multipartai nampaknya mampu mempertahan kan rezim demokratis sebagaimana sistem dua partai. Rezim parlementer mempunyai lebih banyak mekanisme pembentukan koalisi yang mendukung demokrasi multipartai.
Ini tidak berati bahwa kombinasi presidensialisme dan multipartisme membuat demokrasi tidak mungkin berjalan baik. Kasus Cile dari tahun 1930-an sampai akhir tahun 1960-an menunjukkan bahwa presidensialisme, multipartisme, dan demokrasi yang stabil bisa berjalan bersamaan, bahkan di negara yang mengalami polarisasi ideologi. Namun demikian, dengan kombinasi kelembagaan ini, stabilitas demokrasi sangat bergantung pada keinginan para elit dan rakyat untuk berkompromi dan menciptakan lembaga demokrasi yang kuat. Secara optimal, sistem politik harus mempunyai mekanisme kelembagaan yang mendukung kecenderungan ini.
Saya juga tidak bermaksud mengatakan bahwa isu-isu kelembagaan selalu menjadi faktor utama dalam menentukan apakah demokrasi berhasil atau gagal. Sebagian masyarakat menghadapi konflik yang sangat tajam dalam jangka pendek, bagaimana pun struktur kelembagaannya. Kondisi sosial, kultural, dan ekonomi juga mempengaruhi prospek demokrasi. Namun demikian, sebagian kombinasi kelembagaan mendukung dan sebagian lagi menghambat penanganan masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Sistem dua partai dan polarisasi ideologi yang sangat terbatas telah berperan menjadikan Amerika Serikat sebagai negara demokrasi presidensial yang efektif (Riggs, 1988), tapi kondisi seperti ini sulit dikembangkan ke negara lain. Di antara negara-negara demokrasi presidensial di luar Amerika Serikat, hanya Kolombia dan Kosta Rika yang menerapkan sistem dua partai secara konsisten. Venezuela juga sudah mendekati sistem dua partai sejak tahun 1973. Polarisasi ideologi dalam sistem partai terbatas di ketiga negara ini. Bukanlah suatu kebetulan bila ketiga negara Amerika Latin ini menjadi negara demokrasi presidensial tertua di luar Amerika Serikat.
Di kebanyakan negara demokrasi presidensial, pemilu legislatif didasarkan pada keterwakilan proporsional dengan jumlah distrik yang cukup besar untuk memudahkan keterwakilan beberapa partai, sehingga lebih sulit bagi presiden untuk mencapai posisi mayoritas dan lebih besar kemungkinan bahwa oposisi akan mengontrol posisi mayoritas kuat di parlemen. Di sebagian negara, seperti Kosta Rika dan Venezuela, kebersamaan waktu pemilu presiden dan pemilu parlemen telah mencegah fragmentasi sistem partai. Di Uruguay, rakyat harus memilih semua calon dari satu partai, dan pentingnya jabatan presiden membuat rakyat tidak memilih partai yang tidak punya peluang memenangkan jabatan presiden. Namun demikian, di banyak negara, partai presiden tidak menguasai mayoritas kursi di parlemen. Presiden yang mendapat sedikit dukungan di parlemen kadang-kadang justru terpilih, suatu situasi yang mudah menimbulkan kebuntuan eksekutif/legislatif.
Apa yang dapat dilakukan sehubungan dengan reformasi konstitusi/ institusi dalam demokrasi presidensial multipartai.? Sehubungan dengan isu-isu utama yang dibahas di sini, ada dua kemungkinan: berubah dari sistem presidensial ke sistem semipresidensial atau parlementer atau mengambil langkah-langkah untuk mengurangi fragmentasi sistem partai. Sayangnya mendapatkan dukungan politik untuk melakukan perubahan besar kelembagaan biasanya sulit, dan tidak mudah untuk merancang alternatif yang dapat berjalan dengan baik, walaupun lembaga alternatif tersebut mendapat dukungan politik.
Perubahan ke pemerintahan parlementer lebih mungkin dilakukan di sebagian negara dibandingkan dengan di negara lainnya. Seperti dikemukakan Sartori (sedang dicetak), pemerintahan kabinet yang efektif tergantung pada partai-partai yang disiplin, suatu prasyarat yang dapat terpenuhi dalam beberapa sistem presidensial (Cile, Kosta Rika, Uruguay, dan Venezuela) tapi kurang dapat dipenuhi di banyak negara lainnya (Brazil, Kolombia, dan Ekuador). Di ketiga negara ini terdapat situasi yang tidak jelas: sistem presidensial telah berperan melemahkan partai, tapi dengan kelemahan partai ini, pemerintahan parlementer akan menanggung akibatnya. Perubahan ke pemerintahan parlementer harus disertai pembentukan mekanisme untuk meningkatkan disiplin partai. Karena hanya Perancis dan Finlandia yang menjadi contoh jelas sistem semipresidensial, sulit untuk menilai kinerja komparatif sistem ini, tapi di negara-negara dengan partai-partai yang tidak disiplin, kemungkinan ini dapat menghindari sebagian masalah yang ditimbulkan oleh sistem parlementer.
Di banyak negara, pengurangan jumlah partai yang mendapat kursi legislatif  dengan menetapkan ambang batas perolehan suara yang lebih tinggi, dengan mengurangi jumlah distrik dalam sistem proporsional, atau dengan mengadakan pemilu parlemen dan pemilu presiden yang bersamaan lebih mungkin dilakukan. Langkah-langkah seperti ini dapat mengurangi jumlah partai yang mempunyai kursi di parlemen dari lebih dua belas dalam sebagian kasus menjadi empat atau lima. Walaupun pembatasan fragmentasi sistem partai bukan satu-satunya mekanisme kelembagaan yang membuat presidensialisme menjadi lebih efektif, ini adalah suatu kemungkinan yang penting. Namun demikian, usaha-usaha untuk merombak secara drastis sistem multipartai menjadi sistem dua partai untuk meningkatkan kelancaran pemerintahan negara demokrasi presidensial sebaiknya dihindari. Perpecahan politik menjadi terlembaga bila sistem partai politik sudah melembaga, dan para elit dan pengikutnya akan menentang pembatasan drastis dalam perwakilan. Usaha untuk merestrukturisasi sistem multipartai menjadi sistem dua partai akan merusak legitimasi (Valenzuela, 1985), terutama dalam sistem partai dengan (a) partai-partai etnis, daerah, atau agama yang signifikan yang akan hilang bila diterapkan aturan ambang batas perolehan suara atau (b) perbedaan ideologi yang tajam. Dengan demikian, keunggulan bipartisme (sistem dua partai) jadi berkurang bila terdapat perbedaan sosial atau politik yang tajam; dalam keadaan seperti ini, pengurangan fragmentasi sistem partai masih dapat dilakukan, tapi pembentukan bipartisme sebaiknya dihindari.
Reformasi insitusi/konstitusi sulit dilakukan dari aspek politik dan juga bukan langkah yang paling tepat. Namun demikian, kesadaran ini tidak boleh menimbulkan pesimisme mengenai semua usaha untuk melakukan reformasi. Masalah demokrasi presidensial multipartai mungkin berperan sebagai perangsang bagi penelitian mengenai kemungkinan-kemungkinan ini.



[1]Scott Mainwaring, Comparative Political Studies, Vol. 26, No.  2 (1993 : Apr), 128-228
[2] Terlampir
[3] Terlampir
[4] Terlampir